Pelafalan kata takku dan tokko tidaklah jauh berbeda, meski huruf “A dan U” berubah menjadi “O”. Anggapan penulis ini, didukung juga dengan aturan pemakaian baju tokko yang hanya boleh dipakai oleh kaum bangsawan. Aturan dan latar belakang aturan tersebut akan dibahas pada bagian akhir tulisan ini. Selain itu, bahan untuk membuat baju tokko dari serat sutera alam, membuat baju ini tidak mungkin digunakan oleh rakyat biasa, mengingat bahan tersebut sangatlah mahal pada jamannya, bahkan hingga saat ini. Ini berbeda dengan baju tokko yang ada saat ini yang tidak lagi menggunakan serat sutera, melainkan serat kain katun, atau sutera sintetis.
Secara harafiah baju tokko dapat diartikan sebagai baju yang mengambarkan derajat atau status darah yang memakainya. Atas dasar inilah, maka baju bodo hanya boleh digunakan oleh kaum bangsawan. Kapankah baju bodo ini dibuat ?. Inilah yang mungkin perlu penelusuran lebih dalam. Hingga saat ini penulis belum menemukan literatur tentang hal tersebut.
WARNA DAN ATURAN PAKAI BAJU TOKKO
Baju tokko, diawal kemunculannya hanya menggunakan warna tertentu, melalui proses pewarnaan warna alam. Seperti Warna Kuning Gading dari Tanaman Kunyit (Bugis : Onnyi, Latin: Curcuma domestica) dan Temulawak (Bugis: Temmu, Latin: Curcuma xanthorrhiza), Jingga dari Bua Gore’[4], Merah darah dari Akar Pohon Mengkudu (Bugis; Lase’ Tedong Senngi, Latin : Morinda citrifolia) dan daun pohon Jati (Bugis; Jati, Latin: Tectona grandis), warna biru dari tanaman Indigofera (Bugis: Oca-oca pakkampi, Latin: Genus Indigofera). Selain itu masih adalagi warna hitam, lebih tepatnya warna abu-abu, bukan warna hitam seperti yang ada saat ini. Warna ini diperoleh dari arang hasil pembakaran antara jerami padi (Bugis: Darame Ase, Latin: Oryza sativa), mayang kelapa (Bugis: Majang Kaluku, Latin : Cocos nucifera L) dan tempurung bakal buah lontar (Bugis: Bua Taa, Latin: Borassus flabellifer). Agar tidak luntur, baju tokko yang telah diwarnai selanjutnya direndam dengan air Jeruk Nipis (Bugis: Lemo Kopasa, Latin: Citrus Aurantifolia Swingle). Sementara warna Ungu dari Tanaman daun kemummu[5]. Penerapan warna baju tokko tersebut dalam kehidupan sehari-hari memiliki aturan seperti ;
- Anak dibawah 10 tahun memakai Waju Tokko yang disebut Waju Pella-Pella, berwarna Kuning Gading. Disebut waju pella-pella (kupu-kupu), adalah sebagai pengambaran terhadap dunia anak kecil yang perlu keriangan. Warna kuning gading adalah analogi agar sang anak cepat matang dalam menghadapi tantangan hidup. Berasal dari kata maridi (kuning gading), yang jika ditulis dalam aksara lontara Bugis, bisa juga dibaca menjadi Mariddi, yang berarti matang.
- Umur 10 s/d 14 tahun memakai Waju Tokko, berwarna jingga atau merah muda. Pemilihan warna Jingga dan merah muda dipilih karena warna ini adalah warna yang dianggap paling mendekati pada warna merah darah atau merah tua, warna yang dipakai oleh mereka yang sudah menikah. Selain itu, warna merah muda yang dalam bahasa Bugis disebut Bakko, adalah representasi dari kata Bakkaa, yang berarti setengah matang.
- Umur 14 s/d 17 tahun, masih memakai Waju Tokko berwarna jingga atau merah muda, tapi dibuat berlapis bersusun dua, hal ini dikarenakan sang gadis sudah mulai tumbuh payudaranya. Juga dipakai oleh mereka yang sudah menikah tapi belum memiliki anak.
- Umur 17 s/d 25 tahun, Warna merah darah, berlapis dan bersusun. Dipakai oleh perempuan yang sudah menikah dan memiliki anak, berasal dari filosofi, bahwa sang perempuan tadi dianggap sudah mengeluarkan darah dari rahimnya yang berwarna merah tua/merah darah.
- Umur 25 s/d 40 tahun, memakai Waju Tokko warna hitam.
- Baju Tokko berwarna putih digunakan oleh para inang/pengasuh raja atau para dukun atau bissu. Para bissu memiliki titisan darah berwarna putih, inilah yang mengantarkan mereka mampu menjadi penghubung Botting Langi (khayangan), peretiwi (dunia nyata), dan ale kawa (dunia roh). Mereka dipercaya tidak memiliki alat kelamin, sehingga terlepas dari kepentingan syahwat. Dalam kepercayaan Bugis tradisional, Air susu ibu kandung sang putra Mahkota (permaisuri) dianggap aib untuk dikeluarkan. Air susu yang keluar dari tubuh sang ibu tidaklah berbeda dengan darah yang keluar bersama ari-ari yang keluar saat melahirkan. Untuk memenuhi asupan bagi sang bayi (putra mahkota), maka dipilihlah seseorang untuk menjadi indo pasusu (inang) bagi sang putra mahkota. Indo pasusu yang diangkat biasanya tidak memiliki pertalian darah dengan sang putra mahkota. Sehingga air susunya dianggap suci, sesungguhnya seorang indo pasusu memiliki posisi yang sangat terhormat dalam starata sosial Bugis. Berbeda dengan anggapan orang bugis saat ini yang menganggap seorang indo pasusu tidak lebih dari seorang ata (budak).
- Para bangsawan dan keturunannya yang dalam bahasa Bugis disebut maddara takku (berdarah bangsawan), adalah alasan kenapa Baju Tokko warna hijau hanya boleh dipakai oleh para putri-putri raja. Warna hijau, dalam bahasa Bugis disebut Kudara¸ berasal dari kata na-takku dara-na. Ungkapan ini kemudian berubah menjadi Ku-dara, secara harafiah dapat diartikan bahwa mereka yang memakai baju bodo warna kudara, adalah mereka yang menjunjung tinggi harkat kebangsawanannya.
- Pemakaian warna Ungu (kemummu) oleh para janda, menilik pada arti ganda dari kata kemumummu itu sendiri. Selain diartikan warna ungu, juga dapat diartikan lebamnya bagian tubuh yang terkena pukulan atau benturan benda keras. Disinilah muncul anggapan bahwa bibir vagina sang janda tidaklah lagi berwarna merah, melainkan cenderung berwarna ungu. Selain itu, anggapan bahwa seorang janda sebelumnya sudah dipakai atau dijamah (majemmu) oleh mantan suaminya. Kata jemmu ini kemudian dipersonifikasikan dengan kata kemummmu. Adalah alasan kenapa warna kemummu diperuntukkan untuk janda. Dalam pranata sosial masyarakat Bugis jaman dahulu, menikah dengan seorang janda, adalah sebuah aib.
- Abdullah, Hamid, 1985, Manusia Bugis Makassar, Suatu tinjauan Historis terhadap pola tingkah laku dan pandangan hidup manusia Bugis – Makassar, Jakarta, Intidayu Press
- Aminah, P.Hamzah, 1984, Monografi Kebudayaan Sulawesi Selatan, Ujung Pandang, Proyek PEMDA TK.I Sul-Sel
- Andi Nurnaga, N, Dra., 2003, Adat Istiadat Pernikahan Masyarakat Bugis-Makassar, Telaga Zamsam Makassar
- Andi Zainal Abidin, Prof. Dr., 1999, Capita Selecta Kebudayaan Sul-Sel, Makassar, UNHAS Press
- Anwar, Idwar., 2007, Ensiklopedi Kebudayaan Luwu, Makassar, Komunitas Kampung Sawerigading
- Lamallongeng, Asmat Riady., 2007, Dinamika Perkawinan Adat dalam Masyarakat Bugis Bone, Bone, Penanggung Jawab Dinas Kebudayaan & Pariwisata Kab. Bone.
- Latif, Halilintar, 2005, Kepercayaan Asli Bugis di Sulawesi Selatan, sebuh kajian antropologi Budaya. Laporan Penelitian Desertasi, tidak dipublikasikan
- Mame, A. Rahim, ___, Adat dan Upacara Perkawinan Daerah Sul-Sel, Ujung Pandang, Proyek dan Pencatatan Kebudayaan Daerah
- Mappangara, Suriadi., 2006, Glosarium Sulawesi Selatan dan Barat, Ujung Pandang, Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Ujung Pandang.
- Mattulada, 1976, Agama Islam di Sulawesi Selatan, Ujung Pandang, Fak. Sastra UNHAS
- Mukhlis (Ed.), 1986, Dinamika Bugis Makassar, Ujung Pandang, PLPIIS-YIIS
- Nonci, S.Pd, 2002, Upacara Adat Istiadat Masyarakat Bugis, Makassar, Telaga Zamsam Makassar
- Pelras, Christian., 2006, Manusia Bugis, Jakarta, Nalar,
- Said DM, M. Ide., 1977, Kamus Bahasa Bugis – Indonesia, Jakarta, Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa DEPDIKBUD
- Sani, M.Yamin., dkk., 1990, Bicaranna Mula Timpaengngi Sidenreng Najaji Engka Wanua Ri Sidenreng, Asal-usul “Kerajaan” Sidenreng dan Sistem Pemerintahannya, Ujung Pandang, Proyek Departemen P & K, Direktorat Jenderal Kebudayaan Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Nusantara.
- Syamsuddin Arifin., Kol, S.Pd., 2003, Beberapa Istilah Bugis dan Pengertiannya, tidak dipublikasikan
- [1] Ahmad, S. (Juli-September 2005), "Rise and Decline Ekonomi Bengal", Asian Affairs 27 (3): 5-26
- [2] The Travels of Marco Polo: The Complete Yule-Cordier Edition Oleh Marco Polo, Sir Henry Yule, Henri Cordier, 1993.
- [3] Sejenis cerita dan informasi turun temurun dalam adat Bugis yang tidak jelas asal-usulnya.
- [4] Nama Bugis, tanaman perdu setinggi 50-60 Cm, bercabang merambat mirip Melati, dengan buah sebesar buah kedongong, mulus dan berwarna merah. Hingga tulisan ini diturunkan, penulis belum menemukan nama Indonesia dan nama latinnya.
- [5] Nama Bugis, tanaman berbatang setinggi 2-3 Meter, bercabang, kulit pohon warna Putih, dengan daun berwarna Ungu. Hingga tulisan ini diturunkan, penulis belum menemukan nama Indonesia dan nama latinnya.