BAJU TOKKO / BAJU BODO, BAJU ADAT BUGIS MAKASSAR
Tahukah anda? Baju Bodo, busana dengan potongan simetris sederhana, dengan efek menggelembung dan longgar, berasal dari etnis Sulawesi Selatan ini, ternyata salah satu busana tertua di dunia. Dalam Festival Busana Nusantara 2007 di Kuta - Bali, perancang busana kenamaan Oscar Lawalata menegaskan "Baju bodo itu adalah salah satu baju tertua di dunia. Dan dunia internasional belum mengetahuinya,".
Baju Bodo sudah dikenal masyarakat Sulawesi Selatan pada pertengahan abad IX
(pen), hal ini diperkuat dari sejarah kainMuslin, kain yang digunakan sebagai
bahan dasar baju bodo itu sendiri. Kain Muslin adalah lembaran kain hasil
tenunan dari pilinan kapas yang dijalin dengan benang katun. Memiliki rongga
dan kerapatan benang yang renggang menjadikan kain Muslin sangat cocok untuk
daerah tropis dan daerah beriklim kering.
KENAPA DISEBUT WAJU TOKKO
Kain Muslin (Eropa) atau Maisolos (Yunani Kuno), Masalia (India Timur) dan Ruhm (Arab), tercatat pertama kali dibuat dan diperdagangkan di kota Dhaka, Bangladesh, hal ini merujuk pada catatan seoraang pedagang Arab bernama Sulaiman pada Abad IX [1]. Sementara Marco Polo pada tahun 1298 Masehi dalam bukunya The Travel of Marco Polo menggambarkan kain muslin itu dibuat di Mosul, (Irak) dan dijual oleh pedagang yang disebut "Musolini".[2] Uniknya, masyarakat Sulawesi Selatan lebih dulu mengenal dan mengenakan jenis kain ini dibanding masyarakat Eropa, yang baru mengenalnya para XVII dan baru popular di Prancis pada abad XVIII.
Dalam perkembangan berikutnya, kain muslin juga digunakan untuk kain kasa/perban dalam dunia kedokteran, bahan layar dalam dunia pelayaran, juga dipergunakan dalam dunia pertunjukan, sinematografi, fotografi sebagai latar atau alat bantu penimbul efek cahaya. Didaratan Eropa, kain muslin juga dipakai sebagai lapisan kain selimut serta lapisan gaun para bangsawan Eropa.
Sejatinya, dalam adat Bugis, setiap warna baju Tokko yang dipakai oleh
perempuan Bugis menunjukkan usia serta martabat pemakainya. Kata “Waju Tokko”,
menurut beberapa pau-pau rikadoan[3] berasal dari kata “pokko”,
hal ini menilik pada bentuk baju tersebut yang berbentuk baju kurung tanpa
jahitan, bagian bawah terbuka, bagian atas berlubang seukuran kepala tanpa
kerah. Bagian depan tidak memiliki kancing atau perekat lainnya, pada ujung
atas sebelah kiri dan kanan dibuat lubang selebar satu jengkal. Lubang tersebut
berfungsi sebagai lubang keluar masuknya lengan. Atas dasar inilah maka baju
ini kemudian disebut sebagai baju pokko, baju yang tidak memiliki lengan.
Pada
perkembangan berikutnya kata pokko berubah menjadi tokko. Penulis tidak
menyetujui anggapan ini, pelafalan kata pokko (Buntung) dengan huruf vocal “O”
yang lebih panjang sehingga berbunyi “pokkooo”. Sangat berbeda dengan pelafalan
kata tokko dengan vocal “O” yang pendek yakni tokko. Di Makassar, kata tokko
disebut-sebut berasal dari kata ni tokko (diberi kanji). Hal ini mengingat
salah satu model perawatan baju tokko, dicuci dan dibaluri dengan tepung
kanji.
Pada kenyataannya, memang susah membedakan antara Baju Tokko Bugis dan Makassar,
mungkin memang tak ada perbedaan, dikarenakan eratnya budaya kekerabatan Suku
Bugis dan Suku Makassar, dua suku besar yang mendiami daratan Sulawesi Selatan
menjadikan banyak pihak tidak mampu memisahkan produk-produk budaya
masing-masing suku. Selain mirip, kedua suku ini juga memiliki asal-usul yang
sama sebagaimana diceritakan dalam Epos Lagaligo, yakni berasal dari To
Manurung (sosok yang turun dari langit).
Baju Bodo Modifikasi// Koleksi Pribadi
Dalam versi lain, disebutkan kata tokko berasal dari kata takku, kata takku sendiri adalah ungkapan untuk menyatakan starata sosial bangsawan. Hal ini menilik pada kata Maddara Takku, yang menunjukkan seseorang yang memiliki darah keturunan bangsawan. Secara harafiah, waju tokko bisa diartikan sebagai baju untuk kaum bangsawan. Jika, kata tokko adalah hasil perubahan dari pelafazan kata takku, maka penulis menduga hal tersebut cukup mendekati kebenaran.
Pelafalan kata takku dan tokko tidaklah jauh berbeda, meski huruf “A dan U” berubah menjadi “O”. Anggapan penulis ini, didukung juga dengan aturan pemakaian baju tokko yang hanya boleh dipakai oleh kaum bangsawan. Aturan dan latar belakang aturan tersebut akan dibahas pada bagian akhir tulisan ini. Selain itu, bahan untuk membuat baju tokko dari serat sutera alam, membuat baju ini tidak mungkin digunakan oleh rakyat biasa, mengingat bahan tersebut sangatlah mahal pada jamannya, bahkan hingga saat ini. Ini berbeda dengan baju tokko yang ada saat ini yang tidak lagi menggunakan serat sutera, melainkan serat kain katun, atau sutera sintetis.
Secara harafiah baju tokko dapat diartikan sebagai baju yang mengambarkan derajat atau status darah yang memakainya. Atas dasar inilah, maka baju bodo hanya boleh digunakan oleh kaum bangsawan. Kapankah baju bodo ini dibuat ?. Inilah yang mungkin perlu penelusuran lebih dalam. Hingga saat ini penulis belum menemukan literatur tentang hal tersebut.
WARNA DAN ATURAN PAKAI BAJU TOKKO
Baju tokko, diawal kemunculannya hanya menggunakan warna tertentu, melalui proses pewarnaan warna alam. Seperti Warna Kuning Gading dari Tanaman Kunyit (Bugis : Onnyi, Latin: Curcuma domestica) dan Temulawak (Bugis: Temmu, Latin: Curcuma xanthorrhiza), Jingga dari Bua Gore’[4], Merah darah dari Akar Pohon Mengkudu (Bugis; Lase’ Tedong Senngi, Latin : Morinda citrifolia) dan daun pohon Jati (Bugis; Jati, Latin: Tectona grandis), warna biru dari tanaman Indigofera (Bugis: Oca-oca pakkampi, Latin: Genus Indigofera). Selain itu masih adalagi warna hitam, lebih tepatnya warna abu-abu, bukan warna hitam seperti yang ada saat ini. Warna ini diperoleh dari arang hasil pembakaran antara jerami padi (Bugis: Darame Ase, Latin: Oryza sativa), mayang kelapa (Bugis: Majang Kaluku, Latin : Cocos nucifera L) dan tempurung bakal buah lontar (Bugis: Bua Taa, Latin: Borassus flabellifer). Agar tidak luntur, baju tokko yang telah diwarnai selanjutnya direndam dengan air Jeruk Nipis (Bugis: Lemo Kopasa, Latin: Citrus Aurantifolia Swingle). Sementara warna Ungu dari Tanaman daun kemummu[5]. Penerapan warna baju tokko tersebut dalam kehidupan sehari-hari memiliki aturan seperti ;
- Anak dibawah 10 tahun memakai Waju Tokko yang disebut Waju Pella-Pella, berwarna Kuning Gading. Disebut waju pella-pella (kupu-kupu), adalah sebagai pengambaran terhadap dunia anak kecil yang perlu keriangan. Warna kuning gading adalah analogi agar sang anak cepat matang dalam menghadapi tantangan hidup. Berasal dari kata maridi (kuning gading), yang jika ditulis dalam aksara lontara Bugis, bisa juga dibaca menjadi Mariddi, yang berarti matang.
- Umur 10 s/d 14 tahun memakai Waju Tokko, berwarna jingga atau merah muda. Pemilihan warna Jingga dan merah muda dipilih karena warna ini adalah warna yang dianggap paling mendekati pada warna merah darah atau merah tua, warna yang dipakai oleh mereka yang sudah menikah. Selain itu, warna merah muda yang dalam bahasa Bugis disebut Bakko, adalah representasi dari kata Bakkaa, yang berarti setengah matang.
- Umur 14 s/d 17 tahun, masih memakai Waju Tokko berwarna jingga atau merah muda, tapi dibuat berlapis bersusun dua, hal ini dikarenakan sang gadis sudah mulai tumbuh payudaranya. Juga dipakai oleh mereka yang sudah menikah tapi belum memiliki anak.
- Umur 17 s/d 25 tahun, Warna merah darah, berlapis dan bersusun. Dipakai oleh perempuan yang sudah menikah dan memiliki anak, berasal dari filosofi, bahwa sang perempuan tadi dianggap sudah mengeluarkan darah dari rahimnya yang berwarna merah tua/merah darah.
- Umur 25 s/d 40 tahun, memakai Waju Tokko warna hitam.
Seperti diutarakan diatas, adanya perbedaan dalam starata ke-bangsawan-an menjadikan adanya aturan pemakaian baju tokko tersebut. Maka dikenallah Wari (sistem protokoler kerajaan) dan Adeq(adat istiadat) yang mengatur cara penggunaan dan baju tokko tadi. Dalam hal warna masih ada aturan lain, yakni :
- Baju Tokko berwarna putih digunakan oleh para inang/pengasuh raja atau para dukun atau bissu. Para bissu memiliki titisan darah berwarna putih, inilah yang mengantarkan mereka mampu menjadi penghubung Botting Langi (khayangan), peretiwi (dunia nyata), dan ale kawa (dunia roh). Mereka dipercaya tidak memiliki alat kelamin, sehingga terlepas dari kepentingan syahwat. Dalam kepercayaan Bugis tradisional, Air susu ibu kandung sang putra Mahkota (permaisuri) dianggap aib untuk dikeluarkan. Air susu yang keluar dari tubuh sang ibu tidaklah berbeda dengan darah yang keluar bersama ari-ari yang keluar saat melahirkan. Untuk memenuhi asupan bagi sang bayi (putra mahkota), maka dipilihlah seseorang untuk menjadi indo pasusu (inang) bagi sang putra mahkota. Indo pasusu yang diangkat biasanya tidak memiliki pertalian darah dengan sang putra mahkota. Sehingga air susunya dianggap suci, sesungguhnya seorang indo pasusu memiliki posisi yang sangat terhormat dalam starata sosial Bugis. Berbeda dengan anggapan orang bugis saat ini yang menganggap seorang indo pasusu tidak lebih dari seorang ata (budak).
- Para bangsawan dan keturunannya yang dalam bahasa Bugis disebut maddara takku (berdarah bangsawan), adalah alasan kenapa Baju Tokko warna hijau hanya boleh dipakai oleh para putri-putri raja. Warna hijau, dalam bahasa Bugis disebut Kudara¸ berasal dari kata na-takku dara-na. Ungkapan ini kemudian berubah menjadi Ku-dara, secara harafiah dapat diartikan bahwa mereka yang memakai baju bodo warna kudara, adalah mereka yang menjunjung tinggi harkat kebangsawanannya.
- Pemakaian warna Ungu (kemummu) oleh para janda, menilik pada arti ganda dari kata kemumummu itu sendiri. Selain diartikan warna ungu, juga dapat diartikan lebamnya bagian tubuh yang terkena pukulan atau benturan benda keras. Disinilah muncul anggapan bahwa bibir vagina sang janda tidaklah lagi berwarna merah, melainkan cenderung berwarna ungu. Selain itu, anggapan bahwa seorang janda sebelumnya sudah dipakai atau dijamah (majemmu) oleh mantan suaminya. Kata jemmu ini kemudian dipersonifikasikan dengan kata kemummmu. Adalah alasan kenapa warna kemummu diperuntukkan untuk janda. Dalam pranata sosial masyarakat Bugis jaman dahulu, menikah dengan seorang janda, adalah sebuah aib.
Kata Baju Tokko dan Baju Bodo, adalah dua nama berbeda untuk merujuk pada Baju Adat Perempuan Bugis-Makassar Sulawesi Selatan. Sama halnya dengan kata Tokko yang berarti Pendek, kata Bodo dalam bahasa Makassar juga berarti pendek. Sebagaimana disinggun pada awal tulisan ini, kata tersebut dipakai karena merujuk pada model lengan baju itu sendiri yang sangat pendek, bahkan bisa dikatakan tidak berlengan sama sekali. Dalam perkembangan kata Baju Bodo lebih cepat, lebih mudah diserap dan lebih mudah diucapkan oleh orang kebanyakan, sehingga dalam khasanah Budaya Indonesia kata Baju Bodo lebih dikenal dibanding dengan kata Baju Tokko. Lalu, bagaimana persinggungan antar Baju tokko yang pendek dan tipis dengan konsep menutup aurat dalam agama Islam?
Meski ajaran agama Islam mulai menyebar dan dipelajari masyarakat di Sulawesi
sejak Abad ke-V, namun secara resmi baru diterima sebagai agama kerajaan pada
abad XVII. Akultarasi ajaran Islam dengan kebudayaan lokal Bugis selanjutnya
bermuara pada ditetapkan 4 (empat) tatanan kehidupan bermasyarakat yakni Ade’
(Adat istiadat), Rapang (Pengambilan keputusan berdasarkan
perbandingan), Wari’ (Sitem protokoler kerajaan), dan Bicara
(Sistem hukum). Kemudian bertambah satu sendi lagi, yakni Sara’
(syariah Islam) setelah Islam resmi diterima sebagai agama kerajaan.
Pergerakan DII/TII di Sulawesi juga berpengaruh besar pada perkembangan
baju bodo saat itu. Ketatnya larangan kegiatan dan pesta adat oleh DII/TII,
membuat baju bodo menjadi asing dikalangan masyarakat Sulawesi Selatan.
Larangan ini muncul mengingat penerapan syariat islam yang diusung oleh
pergeraka DII/TII. Tak pelak, pelarangan ini menjadi isu besar dikalangan para
pelaku adat dan agamawan. Dalam ajaran agama Islam ditegaskan bahwa, pakaian
yang dibenarkan adalah pakaian yang menutup aurat, tidak menampakkan lekuk
tubuh dan rona kulit selain telapak tangan dan wajah. Kontroversi ini kemudian
disikapi bijak oleh kerajaan Gowa, hingga muncullah modifikasi baju bodo yang
dikenal Baju Labbu (serupa dengan baju bodo, tetapi lebih tebal,
gombrang, panjang hingga lutut). Perlahan, baju tokko yang semula tipis berubah
menjadi lebih tebal dan terkesan kaku. Jika pada awalnya memakai kain muslin
(kain sejenis kasa), berikutnya baju bodo dibuat dengan bahan benang sutera.
Bagi golongan agamawan, adanya baju labbu ini adalah solusi terbaik, tidak
melanggar hukum Islam dan juga tidak menghilangkan nilai adat. Bagi golongan
adat, hal ini dianggap sebagai pelanggaran nilai-nilai warisan leluhur. Tentu
tidak ada yang benar juga tidak ada yang salah. Yang patut digaris bawahi,
bukankah pakaian adat adalah hasil konstruksi manusia sesuai dengan
jamannya masing. Maka, saat bermunculan baju bodo dengan berbagai model dan
variasi, seperti yang terjadi saat ini, itulah bentuk konstruksi manusia
Bugis-Makassar saat ini. Kombinasi dan variasi baju bodo yang ada saat ini,
terbukti mampu diterima oleh berbagai kalangan dan lapisan masyarakat. Baju
bodo tidak lagi sekedar pakaian adat, melainkan dapat dipakai diacara resmi,
bahkan busana kerja. Selamat berbajubodo, baju bodo sederajat dengan baju
kebaya, dua-duanya adalah busana asli Indonesia, busana Nasional.
DAFTAR PUSTAKA
- Abdullah, Hamid, 1985, Manusia Bugis Makassar, Suatu tinjauan Historis terhadap pola tingkah laku dan pandangan hidup manusia Bugis – Makassar, Jakarta, Intidayu Press
- Aminah, P.Hamzah, 1984, Monografi Kebudayaan Sulawesi Selatan, Ujung Pandang, Proyek PEMDA TK.I Sul-Sel
- Andi Nurnaga, N, Dra., 2003, Adat Istiadat Pernikahan Masyarakat Bugis-Makassar, Telaga Zamsam Makassar
- Andi Zainal Abidin, Prof. Dr., 1999, Capita Selecta Kebudayaan Sul-Sel, Makassar, UNHAS Press
- Anwar, Idwar., 2007, Ensiklopedi Kebudayaan Luwu, Makassar, Komunitas Kampung Sawerigading
- Lamallongeng, Asmat Riady., 2007, Dinamika Perkawinan Adat dalam Masyarakat Bugis Bone, Bone, Penanggung Jawab Dinas Kebudayaan & Pariwisata Kab. Bone.
- Latif, Halilintar, 2005, Kepercayaan Asli Bugis di Sulawesi Selatan, sebuh kajian antropologi Budaya. Laporan Penelitian Desertasi, tidak dipublikasikan
- Mame, A. Rahim, ___, Adat dan Upacara Perkawinan Daerah Sul-Sel, Ujung Pandang, Proyek dan Pencatatan Kebudayaan Daerah
- Mappangara, Suriadi., 2006, Glosarium Sulawesi Selatan dan Barat, Ujung Pandang, Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Ujung Pandang.
- Mattulada, 1976, Agama Islam di Sulawesi Selatan, Ujung Pandang, Fak. Sastra UNHAS
- Mukhlis (Ed.), 1986, Dinamika Bugis Makassar, Ujung Pandang, PLPIIS-YIIS
- Nonci, S.Pd, 2002, Upacara Adat Istiadat Masyarakat Bugis, Makassar, Telaga Zamsam Makassar
- Pelras, Christian., 2006, Manusia Bugis, Jakarta, Nalar,
- Said DM, M. Ide., 1977, Kamus Bahasa Bugis – Indonesia, Jakarta, Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa DEPDIKBUD
- Sani, M.Yamin., dkk., 1990, Bicaranna Mula Timpaengngi Sidenreng Najaji Engka Wanua Ri Sidenreng, Asal-usul “Kerajaan” Sidenreng dan Sistem Pemerintahannya, Ujung Pandang, Proyek Departemen P & K, Direktorat Jenderal Kebudayaan Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Nusantara.
- Syamsuddin Arifin., Kol, S.Pd., 2003, Beberapa Istilah Bugis dan Pengertiannya, tidak dipublikasikan
CATATAN KAKI :
- [1] Ahmad, S. (Juli-September 2005), "Rise and Decline Ekonomi Bengal", Asian Affairs 27 (3): 5-26
- [2] The Travels of Marco Polo: The Complete Yule-Cordier Edition Oleh Marco Polo, Sir Henry Yule, Henri Cordier, 1993.
- [3] Sejenis cerita dan informasi turun temurun dalam adat Bugis yang tidak jelas asal-usulnya.
- [4] Nama Bugis, tanaman perdu setinggi 50-60 Cm, bercabang merambat mirip Melati, dengan buah sebesar buah kedongong, mulus dan berwarna merah. Hingga tulisan ini diturunkan, penulis belum menemukan nama Indonesia dan nama latinnya.
- [5] Nama Bugis, tanaman berbatang setinggi 2-3 Meter, bercabang, kulit pohon warna Putih, dengan daun berwarna Ungu. Hingga tulisan ini diturunkan, penulis belum menemukan nama Indonesia dan nama latinnya.
0 komentar:
Posting Komentar