SUKU BUGIS MAKASSAR "Disangka Kasar Tapi

Orang Bugis Makassar jika merantau berprinsip "di mana mereka merasa tenang dan nyaman hidup sekaligus berusaha, itulah yang dianggap tanah mereka"

Benarkah anggapan orang-orang di luar Sulawesi bahwa orang Bugis Makassar itu kasar-kasar baik dari segi bahasa maupun perangai mereka? Apakah kekasaran itu akrab dengan orang-orang Bugis Makassar? 

Ada beberapa stigma-stigma negatif mengenai orang Bugis Makassar yang sudah sering saya dengar entah dari media ataupun pengalaman teman yang berkunjung ke daerah lain diluar Sulawesi.

Banyak yang mengatakan Masyarakat Bugis Makassar di Kota Makassar itu sangat kasar, entah dalam hal sikap maupun cara bicara. Saya lahir, besar dan tinggal di Makassar 100% tidak setuju akan pendapat tersebut. Maka untuk itu, dibawah ini akan saya tuliskan beberapa hal yang membuat masyarakat didaerah lain berpendapat orang Bugis Makassar Itu Kasar.


Suku Bugis Makassar dikenal penaik darah, suka mengamuk, membunuh dan mau mati untuk sesuatu perkara, meski hanya masalah sepele saja. Apa sebab sehingga demikian? Ada apa dengan jiwa karakter suku bangsa ini?

Tidak diketahui apa sebab orang Bugis Makassar terpaksa membunuh atau melakukan pertumpahan darah, biarpun hanya perkara kecil. Jika ditanyakan kepada mereka apa sebabnya terjadi hal demikian, jarang bahkan tak satupun yang dapat menjawab dengan pasti "sehingga dapat dimengerti dengan jelas" apa penyebab ia menumpahkan darah orang lain atau ia mau mati untuk seseorang.

Ahli sejarah dan budaya menyarankan untuk mengenal jiwa kedua suku bangsa ini lebih dekat lagi dengan cara mempelajari dalil-dalil, pepatah-pepatah, sejarah, adat istiadat dan kesimpulan-kesimpulan kata mereka yang dilukiskan dengan indah dalam syair-syair atau pantun-pantunnya.

Laksana garis cahaya di gelap malam, apabila kita selidiki lebih mendalam, tampaklah bahwa kebanyakan terjadinya pembunuhan itu ialah lantaran soal malu dan dipermalukan. Soal malu dan dipermalukan banyak diwarnai oleh kejadian-kejadian yang dilatari adat yang sangat kuat.

Sebut saja satunya adalah, "silariang (kawin lari)" misalnya, atau dalam bahasa Belanda: Schaking. Apabila seorang pemuda ditolak pinangannya, maka ia merasa malu. Lalu ia berdaya upaya agar sang gadis pujaan hati Erangkale (si gadis datang membawa dirinya kepada pemuda), atau si pemuda itu berusaha agar gadis yang dipinangnya dapat dilarikannya (silariang). Apabila hal ini terjadi, maka dengan sendirinya pihak orang tua (keluarga) gadis itu juga merasa mendapat “Malu Besar” (Mate Siri’). Mengetahui anak gadisnya silariang, segera digencarkan pencarian untuk satu tujuan: membunuh pemuda dan gadisnya yan memberi aib pada keluarganya!

Cara ini sama sekali tidak dianggap sebagai tindakan yang kejam, bahkan sebaliknya, ini tindakan terhormat atas perbuatan mereka yang memalukan. Oleh orang Bugis Makassar menganggap telah menunaikan dan menyempurnakan salah satu tuntutan tata hidup dari masyarakatnya yang disebut adat.

Selain itu, kedua suku Bugis Makassar tersohor sebagai kaum pelaut yang berani sejak dahulu kala hingga sekarang. Sebagai pelaut yang kerap ‘bergaul’ dan akrab dengan angin dan gelombang lautan, maka sifat-sifat dinamis dari gelombang yang selalu bergerak tidak mau tenang itu, mempengaruhi jiwa dan karakter orang Bugis Makassar. Ini lalu tercermin dalam pepatah, syair atau pantun yang berhubungan dengan keadaan laut, yang kemudian memantulkan bayangan betapa watak atau sifat kedua suku bangsa itu.

Contoh salah satu pantun: Takunjunga’ bangung turu’ Nakugunciri’ gulingku, Kualleangna tallanga natolia. Artinya: “saya tidak begitu saja mengikuti arah angin, dan tidak begitu saja memutar kemudi saya. Saya lebih suka tenggelam dari pada kembali.”

Maksudnya, kalau langkah sudah terayun, berpantang surut –lebih suka tenggelam- daripada kembali dengan tangan hampa. Jadi kedua suku bangsa ini memiliki hati yang begitu keras. Tapi, benarkah begitu?

Justru sebaliknya, orang Bugis Makassar memiliki hati yang halus dan lembut. Dari penjelasan di atas nampaklah bahwa kedua suku bangsa ini lebih banyak mempergunakan perasaannya daripada pikirannya. Ia lebih cepat merasa. Begitu halus perasaannya sampai-sampai hanya persoalan kecil saja dalam cara mengeluarkan kata-kata di saat bercakap-cakap, bisa menyebabkan kesan yang lain pada perasaannya, yang dapat menyebabkan kesalahpahaman. Tapi, kalau kita telah mengenal jiwa dan wataknya atau adat istiadatnya, maka kita tengah berhadapan dengan suku bangsa yang peramah, sopan santun, bahkan kalau perlu ia rela mengeluarkan segala isi hatinya, bahkan jiwanya sekalipun rela mereka pertaruhkan kepada kita.

Jika ada orang Makassar telah mengucapkan perkataan “Baji’na tawwa” atau “Baji’ tojengi ntu I Baso” (maksudnya: Alangkah baiknya orang itu atau alangkah baik hati si Baso), maka itu cukup menjadi suatu tanda, bahwa apabila ada kesukaran yang akan menimpa si Baso, maka ia rela turut merasakannya.

Ia rela berkorban untuk kepentingan si Baso. Apabila ada seseorang yang hendak mencelakai atau menghadang si Baso di tengah jalan, jika didengarnya kabar itu, maka ia rela maju lebih awal menghadapi lawan itu, meski tidak dimintai bantuannya. Ia mau mati untuk seseorang, dikarenakan orang itu telah dipandangnya sebagai orang baik. Olehnya, orang Bugis Makassar dikenal sebagai orang yang setia, solider dan kuat pendirian. Meski tak jarang yang memplesetkan kata Makassar sebagai “Manusia Kasar”.

dari berbagai sumber

0 komentar:

Posting Komentar

 
UMROH HEMAT 2016 U$D.2.000 BERANGKAT MARET 2016