Jabal Rahmah (Gunung Kasih Sayang)

Bukit yang menjadi saksi dipertemukannya kembali Nabi Adam dan Siti Hawa, setelah 200 tahun terpisah sejak terusirnya mereka dari Surga.

Selesai Sa'i Ber Do’a di Bukit MARWAH

Shafa dan Marwah berjarak sekitar 450 M, menjadi salah satu dari rukun haji dan umrah. Tidak sah Haji dan Umrah seseorang jika tidak melakukan sa’i antara Sofa dan Marwah sebanyak 7 kali.

City Tour ke Jabal Tsur

Di atas Jabal Tsur terdapat sebuah gua, gua tersebut, tertutup dengan sarang laba-laba, dan nampak burung merpati yang sedang bertelur di sarangnya. Padahal Rasulullah SAW bersama Abu Bakar Ashiddiq sedang berlindung di gunung tersebut (Gua Tsur) waktu hendak hijrah ke Madinah menghindari kejaran kafir Quraisy.

Jabal Uhud (Bukut Uhud)

Dilembah bukit Uhud terdapat makam 70 orang syuhada, antara lain Hamzah bin Abdul Muthalib paman Nabi Muhammad SAW.

UMRAH Plus PALESTINA

Peserta fotho bersama dengan Imam Besar Masjid Al Aqsa, sebelum meninggalkan Palestina menuju Makkah Arab Saudi Guna Melaksanakan Ibadah Umroh

Tour EROPA TIMUR

Rombongan BUPATI POLMAN SULBAR, menunjungi beberapa Negara dlm rangkaian Tour ke Eropa Timur, diantaranya : Turki,Italia,Swiz,Jerman,Belanda, dan Belgia.

Gunung Magnet alias Jabal Magnet

Nama Jabal Magnet adalah pemberian dari jamaah asal Indonesia. Orang-orang Arab sendiri menyebut tempat tersebut dengan nama Mantiqotul Baido atau Tanah Putih.

City Tour Kota Madinah

Dalam city tour ini jamaah Umroh diajak mengunjungi Kebun Kurma. Jamaah dapat menikmati buah kurma yang baru dipetik, minum teh khas arab dan berbelanja kurma untuk oleh oleh.

Executive Lounge Bandara Internasional Soekarno Hatta

Calon Jamaah Umrah “Taufiqah Tour” beristirahat di Lounge Bandara Internasional Soekarno Hatta menunggu keberangkatan menuju Arab Saudi dengan pesawat Emyrat.

MANDI JUNUB (Mandi Besar)

Tata Cara Mandi Junub (Mandi Besar) Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam

Sifat Mandi Junub Nabi -shallallahu alaihi wasallam
Allah Ta’ala berfirman:
وَإِن كُنتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُواْ
“Dan jika kalian junub maka bersucilah (mandilah).” (QS. Al-Maidah: 6)
Dari Aisyah -radhiallahu anha- dia berkata:
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا اغْتَسَلَ مِنْ الْجَنَابَةِ يَبْدَأُ فَيَغْسِلُ يَدَيْهِ ثُمَّ يُفْرِغُ بِيَمِينِهِ عَلَى شِمَالِهِ فَيَغْسِلُ فَرْجَهُ ثُمَّ يَتَوَضَّأُ وُضُوءَهُ لِلصَّلَاةِ ثُمَّ يَأْخُذُ الْمَاءَ فَيُدْخِلُ أَصَابِعَهُ فِي أُصُولِ الشَّعْرِ حَتَّى إِذَا رَأَى أَنْ قَدْ اسْتَبْرَأَ حَفَنَ عَلَى رَأْسِهِ ثَلَاثَ حَفَنَاتٍ ثُمَّ أَفَاضَ عَلَى سَائِرِ جَسَدِهِ ثُمَّ غَسَلَ رِجْلَيْهِ
“Kebiasaan Rasulullah -shallallahu’alaihiwasallam- jika beliau mandi junub adalah: Beliau memulainya dengan mencuci kedua tangan beliau, kemudian beliau menuangkan air dengan tangan kanan ke atas tangan kiri lalu mencuci kemaluanya, kemudian beliau berwudhu seperti wudhu untuk shalat, kemudian beliau mengambil air lalu memasukkan jari-jemarinya ke semua pangkal rambut. Sampai setelah beliau memandang bahwa airnya sudah merata mengenai semua rambut beliau, beliau lalu menyiram kepalanya sebanyak tiga kali tuangan, kemudian beliau mencuci seluruh tubuh beliau, kemudian akhirnya mencuci kedua kaki beliau.” (HR. Al-Bukhari no. 248 dan Muslim no. 316)
Dari Maimunah bintu Al-Harits -radhiallahu anha- dia berkata:
أَدْنَيْتُ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ غُسْلَهُ مِنْ الْجَنَابَةِ فَغَسَلَ كَفَّيْهِ مَرَّتَيْنِ أَوْ ثَلَاثًا ثُمَّ أَدْخَلَ يَدَهُ فِي الْإِنَاءِ ثُمَّ أَفْرَغَ بِهِ عَلَى فَرْجِهِ وَغَسَلَهُ بِشِمَالِهِ ثُمَّ ضَرَبَ بِشِمَالِهِ الْأَرْضَ فَدَلَكَهَا دَلْكًا شَدِيدًا ثُمَّ تَوَضَّأَ وُضُوءَهُ لِلصَّلَاةِ ثُمَّ أَفْرَغَ عَلَى رَأْسِهِ ثَلَاثَ حَفَنَاتٍ مِلْءَ كَفِّهِ ثُمَّ غَسَلَ سَائِرَ جَسَدِهِ ثُمَّ تَنَحَّى عَنْ مَقَامِهِ ذَلِكَ فَغَسَلَ رِجْلَيْهِ ثُمَّ أَتَيْتُهُ بِالْمِنْدِيلِ فَرَدَّهُ
“Aku pernah membawa air mandi untuk junub kepada Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam-. Lalu beliau memulai dengan membasuh dua telapak tangannya sebanyak dua atau tiga kali. Kemudian beliau memasukkan tangannya ke dalam wadah berisi air, lalu menuangkan air tersebut pada kemaluan beliau, dan beliau mencucinya (kemaluan) dengan tangan kiri. Setelah itu, beliau menggosokkan tangan kiri ke tanah dengan gosokan yang kuat. Kemudian beliau berwudhu sebagaimana wudhu untuk shalat. Kemudian beliau menuangkan air ke kepala beliau sebanyak tiga kali sepenuh telapak tangan, lalu beliau mencuci seluruh tubuhnya. Kemudian beliau bergerak mundur dari tempat beliau berdiri, lalu beliau mencuci kedua kakinya. Kemudian aku mengambilkan handuk untuk beliau, tetapi beliau menolaknya.” (HR. Al-Bukhari pada banyak tempat, di antaranya no. 259 dan Muslim no. 723)
Kalimat [berwudhu sebagaimana wudhu untuk shalat], diterangkan dalam riwayat lain, “Kemudian beliau berkumur-kumur dan menghirup air ke dalam hidung, kemudian beliau mencuci wajahnya dan kedua lengannya (tangannya sampai siku).”

Penjelasan ringkas:
Para ulama menyebutkan bahwa kaifiat mandi junub ada 2 cara, dan bisa dipilih salah satunya:
  1. Cara yang sempurna, yaitu mengerjakan semua rukun, wajib dan sunnah dalam mandi junub. Ini sebagaimana yang disebutkan dalam hadits Aisyah dan Maimunah di atas.
  2. Cara yang mujzi’ (yang mencukupi), yaitu hanya melakukan yang merupakan rukun dalam mandi junub. Seperti yang diisyaratkan dalam ayat di atas. Imam Ibnu Hazm berkata dalam Al-Muhalla (2/28) menjelaskan ayat di atas, “Bagaimanapun caranya dia bersuci (mandi) maka dia telah menunaikan kewajiban yang Allah wajibkan padanya.” Penjelasan lebih detail masalah ini silakan baca di http://al-atsariyyah.com/?p=649
Masalah lain yang bisa dipetik dari dalil-dalil di atas adalah:
  1. Asy-Syaikh Ibnu Al-Utsaimin menyatakan tidaknya wajib berwudhu setelah mandi junub berdasarkan ayat di atas. Karena Allah Ta’ala telah menyatakan mandi itu sebagai thaharah dan wudhu termasuk thaharah.
  2. Hukum gerakan wudhu yang ada di  pertengahan mandi junub adalah sunnah, karena pada mandi junub yang cukup tidak disinggung masalah wudhu.
  3. Bolehnya ada jarak antara mencuci anggota wudhu yang satu dengan yang lainnya dalam wudhu, selama anggota wudhu sebelumnya belum kering. Pada hadits Maimunah beliau mengundurkan mencuci kaki dari semua gerakan wudhu sebelumnya.
  4. Sebaiknya tidak menggunakan handuk atau yang semacamnya untuk membasuh tubuh setelah mandi junub, akan tetapi hendaknya menggunakan tangan sebagaimana yang diterangkan dalam riwayat lain hadits Maimunah.
  5. Menggunakan tangan kiri ketika akan menyentuh sesuatu yang najis.
Kaifiat Mandi Junub
Para ulama menyebutkan bahwa kaifiat mandi junub ada 2 cara:
  1. Cara yang sempurna, yaitu mengerjakan semua rukun, wajib dan sunnah dalam mandi junub.
  2. Cara yang mujzi’ (yang mencukupi), yaitu hanya melakukan yang merupakan rukun dalam mandi junub. (Lihat Al-Mughni: 1/287, Al-Majmu’: 2/209 dan Al-Muhalla: 2/28)
Kaifiat mandi yang mujzi’:
  1. Niat.
  2. Mencuci  dari kotoran yang menimpa atau najis –kalau ada.
  3. Menyiram kepala sampai ke dasar rambut dan seluruh anggota badan dengan air.
Ada beberapa dalil yang menunjukkan cara ini, diantaranya:
  1. Firman Allah Ta’ala, “Dan kalau kalian junub maka bersucilah.” (QS. Al-Maidah: 6) Imam Ibnu Hazm berkata dalam Al-Muhalla (2/28), “Bagaimanapun caranya dia bersuci (mandi) maka dia telah menunaikan kewajiban yang Allah wajibkan padanya.”
  2. Ummu Salamah pernah bertanya kepada Rasulullah -shalllallahu alaihi wasallam-, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya saya adalah wanita yang mempunyai gulungan rambut yang tebal, apakah saya harus membukanya saat mandi junub?” beliau menjawab, “Tidak perlu, yang wajib atas kamu hanyalah menuangkan air di atas kepalamu sebanyak tiga kali tuangan kemudian kamu menuangkan air ke seluruh tubuhmu. Maka dengan itu kamu telah suci.” (HR. Muslim no. 742 dan selainnya)
  3. Hadits Imran bin Hushain yang panjang dalam Ash-Shahihain, dia berkata, “Dan yang terakhir adalah diberikannya satu bejana air kepada yang orang yang terkena janabah lalu beliau (Nabi) bersabda: Pergilah dan tuangkan air itu ke seluruh tubuhmu.” (Lihat Asy-Syarh Al-Mumti’: 1/424).
Kami katakan: Bagi mereka yang kekurangan air atau yang tidak punya banyak waktu untuk mandi -karena harus segera shalat atau selainnya-, maka hendaknya mereka cukup mengerjakan kaifiat ini karena ini adalah ukuran minimal syahnya mandi.

Kaifiat mandi sempurna:
Sifat mandi yang sempurna ada dua cara, disebutkan dalam hadits Aisyah dan Maimunah yang keduanya diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari dan Muslim. Berikut penyebutannya:

A.  Cara mandi junub yang pertama:
Aisyah berkata, “Sesungguhnya kebiasaan Nabi -shallallahu alaihi wasallam- kalau beliau mandi junub adalah: Beliau mulai dengan mencuci kedua (telapak) tangannya, kemudian beliau berwudhu (sempurna) seperti wudhu beliau kalau mau shalat. Kemudian beliau mengambil air lalu memasukkan jari-jemarinya ke dasar-dasar rambutnya, sampai tatkala beliau merasa air sudah membasahi semua bagian kulit kepalanya, beliau menyiram kepalanya dengan air sebanyak tiga kali tuangan, kemudian beliau menyiram seluruh bagian tubuh yang lainnya.” (HR. Al-Bukhari no. 248, 272 dan Muslim no. 316)
Kesimpulan cara yang pertama adalah:
  1. Mencuci kedua telapak tangan tanpa ada pembatasan jumlah.
  2. Berwudhu sempurna, dari mencuci telapak tangan sampai mencuci kaki. Jadi telapak tangannya kembali dicuci, berdasarkan lahiriah hadits.
  3. Setelah berwudhu sempurna, beliau mengambil air dengan kedua telapak tangan beliau lalu menyiramkannya ke kepala seraya memasukkan jari jemari beliau ke bagian dalam rambut agar seluruh bagian rambut dan kulit kepala terkena air.
  4. Setelah yakin seluruh bagian kulit kepala telah terkena air, beliau menuangkan air ke atas kepalanya sebanyak tiga kali tuangan.
  5. Kemudian yang terakhir beliau menyiram seluruh tubuhnya yang belum terkena air.
B. Cara mandi junub yang kedua:
Ini disebutkan dalam hadits Maimunah, istri Nabi -shallallahu alaihi wasallam-. Diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 259, 265, 266, 274, 276, 281 dan berikut lafazh gabungan seluruh riwayatnya:
Maimunah berkata, “Saya meletakkan air yang akan digunakan oleh Nabi -shallallahu alaihi wasallam- untuk mandi lalu menghijabi beliau dengan kain. Maka beliau menuangkan air ke kedua (telapak) tangannya lalu mencuci keduanya sebanyak dua kali atau tiga kali, kemudian beliau menuangkan air dengan tangan kanannya ke tangan kirinya lalu mencuci kemaluannya dan bagian yang terkena kotoran, kemudian beliau menggosokkan tangannya ke lantai atau ke dinding sebanyak dua kali atau tiga kali. Kemudian beliau berkumur-kumur dan menghirup air ke dalam hidung, kemudian beliau mencuci wajahnya dan kedua lengannya (tangannya sampai siku), kemudian beliau menyiram kepalanya sebanyak tiga kali kemudian menuangkan air ke seluruh tubuhnya. Kemudian beliau bergeser dari tempatnya lalu mencuci kedua kakinya.” Maimunah berkata, “Lalu saya membawakan sepotong kain kepada beliau (sebagai handuk) tapi beliau tidak menghendakinya lalu beliau mengusap air dari badannya dengan tangannya.” (Diriwayatkan juga yang semisalnya oleh Muslim no. 723)

Kesimpulan cara yang kedua:
  1. Menuangkan air ke kedua telapak tangannya lalu mencuci keduanya sebanyak dua atau tiga kali.
  2. Mengambil air dengan tangan kanannya lalu menuangkannya ke tangan kirinya, lalu beliau mencuci kemaluannya dengan tangan kirinya dan juga mencuci bagian tubuh yang terkena kotoran (madzi atau mani).
  3. Menggosokkan tangan kirinya itu ke lantai atau dinding atau tanah untuk membersihkannya, sebanyak dua atau tiga kali.
  4. Berkumur-kumur dan menghirup air ke dalam hidung lalu mengeluarkannya.
  5. Mencuci wajah lalu mencuci kedua tangan sampai ke siku.
  6. Lalu menyiram kepala sebanyak tiga kali siraman.
  7. Menyiram seluruh bagian tubuh yang belum terkena air.
  8. Bergeser dari tempatnya berdiri lalu mencuci kedua kaki.
Inilah dua kaifiat mandi junub sempurna yang setiap muslim hendaknya mengerjakan keduanya secara bergantian pada waktu yang berbeda, terkadang mandi junub dengan kaifiat Aisyah dan pada kesempatan lain dengan kaifiat Maimunah, wallahu a’lam.

Berikut beberapa permasalahan dalam mandi junub yang tidak tersebut pada kedua hadits di atas:
  1. Wajibnya niat dan tempatnya didalam hati.  Karena niat adalah syarat sahnya seluruh ibadah, sebagaimana dalam hadits Umar bin Al-Khaththab yang masyhur, “Sesungguhnya setiap amalan -syah atau tidaknya- tergantung dengan niatnya.” (HR. Al-Bukhari no. 1 dan 54 dan Muslim no. 1907)
  2. Hukum membaca basmalah.  "Tidak disebutkan dalam satu nash pun adanya bacaan basamalah dalam mandi junub, karenanya kami berpendapat tidak adanya bacaan basmalah di awal mandi junub. Kecuali kalau dia membaca bismillah untuk gerakan wudhu yang ada di tengah-tengah kaifiat mandi, maka itu kembalinya kepada hukum membaca basmalah di awal wudhu. Dan telah kami bahas pada beberapa edisi yang telah berlalu bahwa hukumnya adalah sunnah."
  3. Diharamkan seorang yang mandi junub untuk menceburkan dirinya ke dalam air yang diam seperti kolam dan sejenisnya. Berdasarkan hadits Abu Hurairah secara marfu, “Janganlah salah seorang di antara kalian mandi di dalam air yang diam sementara dia junub.” (HR. Muslim no. 283)
  4. Disunnahkan untuk memulai dengan anggota tubuh bagian kanan. Aisyah berkata, “Kami (istri-istri Nabi) jika salah seorang di antara kami junub, maka dia mengambil air dengan kedua tangannya lalu meletakkannya di atas kepalanya. Salah satu tangannya menuangkan air ke bagian kepalanya yang kanan dan tangannya yang lainnya di atas bagian kepalanya yang kiri. Dia melakukan itu sebanyak tiga kali.” (HR. Al-Bukhari no. 277)
  5. Bagi yang mengikat rambutnya, apakah dia wajib melepaskan ikatannya? Imam Al-Baghawi berkata -tentang hadits Ummu Salamah yang telah berlalu di awal pembahasan- dalam kitab Syarh Sunnah (2/18), “Hadits inilah yang diamalkan di kalangan semua ahli ilmi, bahwasanya membuka kepang rambut tidak wajib pada mandi junub selama air bisa masuk ke dasar rambutnya.” Kami katakan: Kalau tidak bisa masuk maka wajib membukan ikatan rambutnya.
  6. Bolehkah memakai handuk setelah mandi junub? Wallahu a’lam, lahiriah hadits Maimunah di atas dimana Nabi -shallallahu alaihi wasallam- menolak handuk yang diberikan oleh Maimunah, menunjukkan disunnahkannya untuk tidak membasuh badan dengan kain akan tetapi dengan tangan. Walaupun hukum asalnya adalah boleh membasuh tubuh dengan kain setelah mandi, hanya saja yang kita bicarakan adalah mana yang lebih utama.
  7. Setelah mandi junub, seseorang boleh langsung shalat tanpa berwudhu kembali karena mandi junub sudah mencukupi dari wudhu. Hal ini berdasarkan hadits Aisyah, “Adalah Nabi -shallallahu alaihi wasallam- tidak berwudhu lagi setelah mandi.” (HR. Abu Daud no. 172) Ibnu Qudamah berkata dalam Al-Mughny 1/289, “Mandi (junub) dijadikan sebagai akhir dari larangan untuk shalat, karenanya jika dia telah mandi, maka wajib untuk tidak terlarang dari sholat. Sesungguhnya keduanya yaitu mandi dan wudhu, dua ibadah yang sejenis, maka yang kecil di antara keduanya (wudhu) masuk (terwakili) ke dalam  yang besar sebagaiamana halnya umrah di dalam haji.”
  8. Tidak boleh menggabungkan antara mandi junub dengan mandi haid, karena kedua jenis mandi ini telah tegak dalil yang menerangkan wajibnya untuk mengerjakan masing-masing darinya secara tersendiri, karenanya tidak boleh disatukan pada satu mandi. Lihat pembasan masalah ini dalam Tamamul Minnah hal. 126, Al-Muhalla (2/42-47). Adapun mandi junub dengan mandi jumat, maka boleh digabungkan. Berdasarkan hadits Aisyah secara marfu’, “Barangsiapa yang mandi pada hari jumat maka hendaknya dia mandi dengan cara mandi junub.” (HR. Ahmad). Para ulama menerangkan bahwa pengamalan hadits di atas bisa dengan dua cara: a. Apakah dia sengaja membuat dirinya junub yaitu dengan berhubungan dengan istrinya pada hari jumat, agar dia bisa mandi junub pada hari itu. b. Ataukah dia mandi jumat dengan kaifiat mandi junub, walaupun dia tidak dalam keadaan junub, wallahu a’lam.
  9. Dimakruhkan untuk berlebih-lebihan (boros) dalam menggunakan air, baik dalam wudhu maupun dalam mandi junub. Ini berdasarkan dalil umum yang melarang untuk tabdzir (boros) dan berlebih-lebihan dalam segala sesuatu.
  10. Cara mandi bersih dari haid/nifas sama dengan mandi junub kecuali dalam dua hal:
  • Disunnahkan setelah mandi untuk menggosok kemaluan dan yang bagian terkena darah dengan kapas atau yang semacamnya yang telah diolesi dengan minyak wangi. Ini untuk membersihkan dan mensucikan dari bau yang kurang sedap. Hal ini berdasarkan hadits Aisyah secara marfu’, “Salah seorang di antara kalian (wanita haid) mengambil air yang dicampur dengan daun bidara lalu dia bersuci dan memperbaiki bersucinya. Kemudian dia menuangkan air di atas kepalanya seraya menggosoknya dengan gosokan yang kuat sampai air masuk ke akar-akar rambutnya, kemudian dia menyiram seluruh tubuhnya dengan air. Kemudian dia mengambil secarik kain yang telah dibaluri dengan minyak misk lalu dia berbersih darinya.” Aisyah berkata, “Dia mengoleskannya ke bekas-bekas darah.” (HR. Muslim no. 332 dari Aisyah)
  • Disunnahkan mandi dengan air dan daun bidara sebagaimana dalam hadits di atas.
Wallahu a’lam bishshawab

Beberapa Catatan Bagi Yang Junub
Dari Abu Said Al-Khudri t dia berkata: Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda:
إِذَا أَتَى أَحَدُكُمْ أَهْلَهُ ثُمَّ أَرَادَ أَنْ يَعُودَ فَلْيَتَوَضَّأْ بَيْنَهُمَا وُضُوءًا
“Apabila salah seorang dari kalian menyenggamai istrinya, kemudian berkehendak untuk mengulanginya lagi maka hendaklah dia berwudhu di antara keduanya.” (HR. Muslim no. 308)

Dari Ibnu Umar -radhiallahu anhu- dia berkata:
أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ سَأَلَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيَرْقُدُ أَحَدُنَا وَهُوَ جُنُبٌ قَالَ نَعَمْ إِذَا تَوَضَّأَ أَحَدُكُمْ فَلْيَرْقُدْ وَهُوَ جُنُبٌ
“Umar bin Al-Khaththab bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, “Apakah boleh seorang dari kami tidur dalam keadaan dia junub?” Rasulullah-shallallahu ‘alaihi wasallam- menjawab, “Ya. Jika salah seorang dari kalian berwudlu, maka hendaklah dia tidur meskipun dalam keadaan junub.” (HR. Al-Bukhari no. 287 dan Muslim no. 306)

Penjelasan ringkas:
Mengetahui adab dan hukum yang berlaku bagi orang yang junub adalah hal yang sangat penting, mengingat tidak ada seorangpun di antara kita kecuali dia telah atau akan mengalami yang namanya junub.

Karenanya berikut beberapa perkara yang penting untuk kita ketahui:
  1. Disyariatkan bagi yang telah melakukan jima’ lalu mau mengulangi jima’ untuk berwudhu di antara kedua jima’ tersebut, berdasarkan hadits Abu Said di atas. Walaupun ada perbedaan pendapat dalam hukumnya, apakah wajib atau sunnah.
  2. Maka ini juga menunjukkan bolehnya mengundurkan mandi junub selama kesucian itu belum dibutuhkan. Misalnya seseorang junub jam 10 pagi maka dia bisa mengundur mandinya sampai mendekati zuhur karena pada saat itu (jam 10) tidak ada perkara yang mengharuskan dia untuk mandi. Ini berdasarkan hadits Abu Hurairah riwayat Al-Bukhari dan Muslim dimana beliau berjalan-jalan di pasar dalam keadaan junub lalu berjumpa dengan Nabi -alaihishshalatu wassalam-. Setelah Nabi -alaihishshalatu wassalam- mengetahui hal tersebut maka beliau tidak menegur Abu Hurairah karena mengundurkan mandi junub.
  3. Karenanya orang yang junub boleh mengerjakan pekerjaan apa saja selama dia junub, kecuali pekerjaan yang dituntut padanya thaharah.
  4. Disyariatkan bagi orang yang junub untuk berwudhu terlebih dahulu sebelum tidur, berdasarkan hadits Ibnu Umar di atas. Dan juga ada silang pendapat mengenai hukumnya, Azh-Zhahiriah berpendapat wajibnya sementara mayoritas ulama berpendapat sunnahnya, wallahu a’lam.
  5. Adapun hukum berzikir, membaca Al-Qur`an, menyentuh mushaf, dan masuk masjid bagi orang yang junub serta wanita yang haid dan nifas, maka kesimpulannya bisa anda baca di  http://al-atsariyyah.com

Appakakkala - Mappaddicawa

Hitung Coca Cola
Seorang bapak menyuruh anaknya, sebut saja "Aco" yang masih berusia 6 tahun.

Bapak: "Aco... Sini nak.. Ini uang pi ko beli coca cola di warung, 1 utk bapa, 1 untuk ibu, 1 untuk kaka, trus 1 untuk kau... jadi berapa semua coca colanya?"

Aco: "3 bapak.." Dgn polosnya..

Bapak: "Bapa ulang nah.. 1 untuk bapa, 1 untuk ibu, 1 untuk kaka, trus 1 untuk kau... jadi berapa semua coca colanya..?"

Aco: "3 bapa.."

Bapak: "Aco.. Aco.. Dongomu itu! Apa ji ko belajar di sekolah.. Coba ko hitung lagi, klo salah lagi bapa cubit ko, Co.. 1 untuk bapa, 1 untuk ibu, 1 untuk kaka, trus 1 untuk kau... jadi berapa smua coca colanya..?" (Dengan nada emosi...)

Aco: "3 bapak.."

Bapak: "Dongo mentongko kau, aco" denqan gemasnya sambil mencubit aco.. "Berapa smuanya?!!"

Aco: (Sambil menangis): "3 ji kodong coca cola bapa... mauka minum fanta saya..."


Kasi Bangunki Kalo Sudah di Barru

Seorang ibu mengantar anaknya ke Terminal Daya, karena anaknya mau dikirim ke kampung:

Ibu kepada sopir Panther: "Pak sopir, kasi duduk didepanki anakku nah, supaya kalo tidurki, kasi bangunki kalo sudah di Barru..."
Pak sopir : "Iye bu, tenang maki..."

Ibu : "Nak, jangko tidur nah..."
Anak : "Iye mama..."

Setelah Panther mau brangkat, sekali lagi ibunya mewanti-wanti sopir dan anaknya:

Ibu : "Pak sopir, inga' ki nah, kasi bangung ki kalo di barru, biasa itu dia tidur belah..."
Sopir : "Iyyeee buu...tenang maki..."

Setelah dalam perjalanan, si anak tidak henti-hentinya bertanya, setiap 15 menit bertanya..

Anak : "Pak sopir, di Barru mi?"
Sopir : "Belumpi..."

15 menit kemudian

Anak : "Pak sopir, Barru mi ini?"
Sopir : "Belum pi..."

15 menit kemudian,
Anak : "Pak sopir, sampe mi di Barru?"
Sopir : "Belum pi..."

15 menit kemudian,
Anak : "Pak sopir, Barru mi?"
Sopir : "Belum pi... Edede, tidur mako dulu nak, nanti kalo di barru ku kasi bangung jako itu.."

Akhirnya si anak tidur,

Tanpa disadari, pak sopir bablas sampe 5 kilo sebelum Toraja, sopir pun panik, karena baru ingat, si anak masih terikut sampe Toraja, dia lupa membangunkan si anak, setelah berembuk sama penumpang, akhirnya mereka memutuskan untuk balik ke Barru untuk ngedrop si anak yang ketiduran...

Setelah perjalanan panjang, akhirnya sampe juga di Barru ...

Sopir : 'Ooe, nak, bangun mako, di Barru mi ini..."
Anak : (gosok-gosok mata baru bangun) "Hmmm iye, di Barru mi kah pak?"
Sopir : "Iyo, ada ji yg jemputko?"

Anak : "Ooh ndaji Om, na bilang mama ku, kalo di Barru mi, na suruhka makangki nasi dosku, mauka ke Toraja bela..."

Sopir : "Anasuntili ini anak!!"



Ciuman Terakhir Daeng
Preman dengan tampang bringas berhenti ditengah jembatan TELLO dan bertanya kepada wanita..
Preman: "Mo ko bikin apa, Cewek?"

Wanita: "Mo ka bunuh diri, Daeng!"
Preman: "Kalo begitu kasih ka pale ciuman trakhirmu nah, mau ji to dek cium ka?"

Lalu cewek itu mencium dengan penuh gairah. Preman pun senang dan bertanya lagi.

Preman: "Ciumanmu hot skali, Dek! Kenapa ko mau bunuh diri? Cantikmu lagi dan bodymu bagusna lagi, kan sayang to dek..!!"
Wanita: "Sedihka, Daeng..! Ka Orang tuaku nda mengerti perasaanku Daeng, na larangka pake baju perempuan kodong padahal ku sukaki kayak perempuan Daeng..."

Preman: "Cuih..Cuiiiih...setangg!!! Ternyata ko banci pale.!! Songkolo!! Pigi moko bunuh diri saja, kalo tidak saya yang bunuhko itu setanggg..!!"

BAJU ADAT BUGIS MAKASSAR (Sejarah dan Aturan Pakainya)

BAJU TOKKO / BAJU BODO, BAJU ADAT BUGIS MAKASSAR 


Tahukah anda? Baju Bodo, busana dengan potongan simetris sederhana, dengan efek menggelembung dan longgar, berasal dari etnis Sulawesi Selatan ini, ternyata salah satu busana tertua di dunia. Dalam Festival Busana Nusantara 2007 di Kuta - Bali, perancang busana kenamaan Oscar Lawalata menegaskan "Baju bodo itu adalah salah satu baju tertua di dunia. Dan dunia internasional belum mengetahuinya,".

Baju Bodo sudah dikenal masyarakat Sulawesi Selatan pada pertengahan abad IX (pen), hal ini diperkuat dari sejarah kainMuslin, kain yang digunakan sebagai bahan dasar baju bodo itu sendiri. Kain Muslin adalah lembaran kain hasil tenunan dari pilinan kapas yang dijalin dengan benang katun. Memiliki rongga dan kerapatan benang yang renggang menjadikan kain Muslin sangat cocok untuk daerah tropis dan daerah beriklim kering.


Kain Muslin (Eropa) atau Maisolos (Yunani Kuno), Masalia (India Timur) dan Ruhm (Arab), tercatat pertama kali dibuat dan diperdagangkan di kota Dhaka, Bangladesh, hal ini merujuk pada catatan seoraang pedagang Arab bernama Sulaiman pada Abad IX [1]. Sementara Marco Polo pada tahun 1298 Masehi dalam bukunya The Travel of Marco Polo menggambarkan kain muslin itu dibuat di Mosul, (Irak) dan dijual oleh pedagang yang disebut "Musolini".[2]  Uniknya, masyarakat Sulawesi Selatan lebih dulu mengenal dan mengenakan jenis kain ini dibanding masyarakat Eropa, yang baru mengenalnya para XVII dan baru popular di Prancis pada abad XVIII.
Dalam perkembangan berikutnya, kain muslin juga digunakan untuk kain kasa/perban dalam dunia kedokteran, bahan layar dalam dunia pelayaran, juga dipergunakan dalam dunia pertunjukan, sinematografi, fotografi sebagai latar atau alat bantu penimbul efek cahaya. Didaratan Eropa, kain muslin juga dipakai sebagai lapisan kain selimut serta lapisan gaun para bangsawan Eropa.
KENAPA DISEBUT WAJU TOKKO


Sejatinya, dalam adat Bugis, setiap warna baju Tokko yang dipakai oleh perempuan Bugis menunjukkan usia serta martabat pemakainya. Kata “Waju Tokko”, menurut beberapa pau-pau rikadoan[3] berasal dari kata “pokko”, hal ini menilik pada bentuk baju tersebut yang berbentuk baju kurung tanpa jahitan, bagian bawah terbuka, bagian atas berlubang seukuran kepala tanpa kerah. Bagian depan tidak memiliki kancing atau perekat lainnya, pada ujung atas sebelah kiri dan kanan dibuat lubang selebar satu jengkal. Lubang tersebut berfungsi sebagai lubang keluar masuknya lengan. Atas dasar inilah maka baju ini kemudian disebut sebagai baju pokko, baju yang tidak memiliki lengan. 

Pada perkembangan berikutnya kata pokko berubah menjadi tokko. Penulis tidak menyetujui anggapan ini, pelafalan kata pokko (Buntung) dengan huruf vocal “O” yang lebih panjang sehingga berbunyi “pokkooo”. Sangat berbeda dengan pelafalan kata tokko dengan vocal “O” yang pendek yakni tokko. Di Makassar, kata tokko disebut-sebut berasal dari kata ni tokko (diberi kanji). Hal ini mengingat salah satu model perawatan baju tokko,  dicuci dan dibaluri dengan tepung kanji. 

Pada kenyataannya, memang susah membedakan antara Baju Tokko Bugis dan Makassar, mungkin memang tak ada perbedaan, dikarenakan eratnya budaya kekerabatan Suku Bugis dan Suku Makassar, dua suku besar yang mendiami daratan Sulawesi Selatan menjadikan banyak pihak tidak mampu memisahkan produk-produk budaya masing-masing suku. Selain mirip, kedua suku ini juga memiliki asal-usul yang sama sebagaimana diceritakan dalam Epos Lagaligo, yakni berasal dari To Manurung (sosok yang turun dari langit).
Baju Bodo Modifikasi// Koleksi Pribadi

Dalam versi lain, disebutkan kata tokko berasal dari kata takku, kata takku sendiri adalah ungkapan untuk menyatakan starata sosial bangsawan. Hal ini menilik pada kata Maddara Takku, yang menunjukkan seseorang yang memiliki darah keturunan bangsawan. Secara harafiah, waju tokko bisa diartikan sebagai baju untuk kaum bangsawan. Jika, kata tokko adalah hasil perubahan dari pelafazan kata takku, maka penulis menduga hal tersebut cukup mendekati kebenaran.

Pelafalan kata takku dan tokko tidaklah jauh berbeda, meski huruf “A dan U” berubah menjadi “O”. Anggapan penulis ini, didukung juga dengan aturan pemakaian baju tokko yang hanya boleh dipakai oleh kaum bangsawan. Aturan dan latar belakang aturan tersebut akan dibahas pada bagian akhir tulisan ini. Selain itu, bahan untuk membuat baju tokko dari serat sutera alam, membuat baju ini tidak mungkin digunakan oleh rakyat biasa, mengingat bahan tersebut sangatlah mahal pada jamannya, bahkan hingga saat ini. Ini berbeda dengan baju tokko yang ada saat ini yang tidak lagi menggunakan serat sutera, melainkan serat kain katun, atau sutera sintetis.

Secara harafiah baju tokko dapat diartikan sebagai baju yang mengambarkan derajat atau status darah yang memakainya. Atas dasar inilah, maka baju bodo hanya boleh digunakan oleh kaum bangsawan. Kapankah baju bodo ini dibuat ?. Inilah yang mungkin perlu penelusuran lebih dalam. Hingga saat ini penulis belum menemukan literatur tentang hal tersebut.

WARNA DAN ATURAN PAKAI BAJU TOKKO

Baju tokko, diawal kemunculannya hanya menggunakan warna tertentu, melalui proses pewarnaan warna alam. Seperti Warna Kuning Gading dari Tanaman Kunyit (Bugis : Onnyi, Latin: Curcuma domestica) dan Temulawak (Bugis: Temmu, Latin: Curcuma xanthorrhiza), Jingga dari Bua Gore’[4], Merah darah dari Akar Pohon Mengkudu (Bugis; Lase’ Tedong Senngi, Latin : Morinda citrifolia)  dan daun pohon Jati (Bugis; Jati, Latin: Tectona grandis), warna biru dari tanaman Indigofera (Bugis: Oca-oca pakkampi, Latin: Genus Indigofera). Selain itu masih adalagi warna hitam, lebih tepatnya warna abu-abu, bukan warna hitam seperti yang ada saat ini. Warna ini diperoleh dari arang hasil pembakaran antara jerami padi (Bugis: Darame Ase, Latin: Oryza sativa), mayang kelapa (Bugis: Majang Kaluku, Latin : Cocos nucifera L) dan tempurung bakal buah lontar (Bugis: Bua Taa, Latin: Borassus flabellifer). Agar tidak luntur, baju tokko yang telah diwarnai selanjutnya direndam dengan air Jeruk Nipis (Bugis: Lemo Kopasa, Latin: Citrus Aurantifolia Swingle). Sementara warna Ungu dari Tanaman daun kemummu[5]. Penerapan warna baju tokko tersebut dalam kehidupan sehari-hari memiliki aturan seperti ;
  • Anak dibawah 10 tahun memakai Waju Tokko yang disebut Waju Pella-Pella, berwarna Kuning Gading. Disebut waju pella-pella (kupu-kupu), adalah sebagai pengambaran terhadap dunia anak kecil yang perlu keriangan. Warna kuning gading adalah analogi agar sang anak cepat matang dalam menghadapi tantangan hidup. Berasal dari kata maridi (kuning gading), yang jika ditulis dalam aksara lontara Bugis, bisa juga dibaca menjadi Mariddi, yang berarti matang.
  • Umur 10 s/d 14 tahun memakai Waju Tokko, berwarna jingga atau merah muda. Pemilihan warna Jingga dan merah muda dipilih karena warna ini adalah warna yang dianggap paling mendekati pada warna merah darah atau merah tua, warna yang dipakai oleh mereka yang sudah menikah. Selain itu, warna merah muda yang dalam bahasa Bugis disebut Bakko, adalah representasi dari kata Bakkaa, yang berarti setengah matang.
  • Umur 14 s/d 17 tahun, masih memakai Waju Tokko berwarna jingga atau merah muda, tapi dibuat berlapis bersusun dua, hal ini dikarenakan sang gadis sudah mulai tumbuh payudaranya. Juga dipakai oleh mereka yang sudah menikah tapi belum memiliki anak.
  • Umur 17 s/d 25 tahun, Warna merah darah, berlapis dan bersusun. Dipakai oleh perempuan yang sudah menikah dan memiliki anak, berasal dari filosofi, bahwa sang perempuan tadi dianggap sudah mengeluarkan darah dari rahimnya yang berwarna merah tua/merah darah.
  • Umur 25 s/d 40 tahun, memakai Waju Tokko warna hitam.
Seperti diutarakan diatas, adanya perbedaan dalam starata ke-bangsawan-an menjadikan adanya aturan pemakaian baju tokko tersebut. Maka dikenallah Wari (sistem protokoler kerajaan) dan Adeq(adat istiadat) yang mengatur cara penggunaan dan baju tokko tadi. Dalam hal warna masih ada aturan lain, yakni :
  • Baju Tokko berwarna putih digunakan oleh para inang/pengasuh raja atau para dukun atau bissu. Para bissu memiliki titisan darah berwarna putih, inilah yang mengantarkan mereka mampu menjadi penghubung Botting Langi (khayangan), peretiwi (dunia nyata), dan ale kawa (dunia roh). Mereka dipercaya tidak memiliki alat kelamin, sehingga terlepas dari kepentingan syahwat. Dalam kepercayaan Bugis tradisional, Air susu ibu kandung sang putra Mahkota (permaisuri) dianggap aib untuk dikeluarkan. Air susu yang keluar dari tubuh sang ibu tidaklah berbeda dengan darah yang keluar bersama ari-ari yang keluar saat melahirkan. Untuk memenuhi asupan bagi sang bayi (putra mahkota), maka dipilihlah seseorang untuk menjadi indo pasusu (inang) bagi sang putra mahkota. Indo pasusu yang diangkat biasanya tidak memiliki pertalian darah dengan sang putra mahkota. Sehingga air susunya dianggap suci, sesungguhnya seorang indo pasusu memiliki posisi yang sangat terhormat dalam starata sosial Bugis. Berbeda dengan anggapan orang bugis saat ini yang menganggap seorang indo pasusu tidak lebih dari seorang ata (budak).
  • Para bangsawan dan keturunannya yang dalam bahasa Bugis disebut maddara takku (berdarah bangsawan), adalah alasan kenapa Baju Tokko warna hijau hanya boleh dipakai oleh para putri-putri raja. Warna hijau, dalam bahasa Bugis disebut Kudara¸ berasal dari kata na-takku dara-na. Ungkapan ini kemudian berubah menjadi Ku-dara, secara harafiah dapat diartikan bahwa mereka yang memakai baju bodo warna kudara, adalah mereka yang menjunjung tinggi harkat kebangsawanannya.
  • Pemakaian warna Ungu (kemummu) oleh para janda, menilik pada arti ganda dari kata kemumummu itu sendiri. Selain diartikan warna ungu, juga dapat diartikan lebamnya bagian tubuh yang terkena pukulan atau benturan benda keras. Disinilah muncul anggapan bahwa bibir vagina sang janda tidaklah lagi berwarna merah, melainkan cenderung berwarna ungu. Selain itu, anggapan bahwa seorang janda sebelumnya sudah dipakai atau dijamah (majemmu) oleh mantan suaminya. Kata jemmu ini kemudian dipersonifikasikan dengan kata kemummmu. Adalah alasan kenapa warna kemummu diperuntukkan untuk janda. Dalam pranata sosial masyarakat Bugis jaman dahulu, menikah dengan seorang janda, adalah sebuah aib.
Modifikasi Baju Bodo

WAJU TOKKO DAN AGAMA ISLAM

Kata Baju Tokko dan Baju Bodo, adalah dua nama berbeda untuk merujuk pada Baju Adat Perempuan Bugis-Makassar Sulawesi Selatan. Sama halnya dengan kata Tokko yang berarti Pendek, kata Bodo dalam bahasa Makassar juga berarti pendek. Sebagaimana disinggun pada awal tulisan ini, kata tersebut dipakai karena merujuk pada model lengan baju itu sendiri yang sangat pendek, bahkan bisa dikatakan tidak berlengan sama sekali. Dalam perkembangan kata Baju Bodo lebih cepat, lebih mudah diserap dan lebih mudah diucapkan oleh orang kebanyakan, sehingga dalam khasanah Budaya Indonesia kata Baju Bodo lebih dikenal dibanding dengan kata Baju Tokko. Lalu, bagaimana persinggungan antar Baju tokko yang pendek dan tipis dengan konsep menutup aurat dalam agama Islam?


Meski ajaran agama Islam mulai menyebar dan dipelajari masyarakat di Sulawesi sejak Abad ke-V, namun secara resmi baru diterima sebagai agama kerajaan pada abad XVII. Akultarasi ajaran Islam dengan kebudayaan lokal Bugis selanjutnya bermuara pada ditetapkan 4 (empat) tatanan kehidupan bermasyarakat yakni Ade’ (Adat istiadat), Rapang (Pengambilan keputusan berdasarkan perbandingan), Wari’ (Sitem protokoler kerajaan), dan Bicara (Sistem hukum). Kemudian bertambah satu sendi lagi, yakni Sara’ (syariah Islam) setelah Islam resmi diterima sebagai agama kerajaan.

Pergerakan  DII/TII di Sulawesi juga berpengaruh besar pada perkembangan baju bodo saat itu. Ketatnya larangan kegiatan dan pesta adat oleh DII/TII, membuat baju bodo menjadi asing dikalangan masyarakat Sulawesi Selatan.
Larangan ini muncul mengingat penerapan syariat islam yang diusung oleh pergeraka DII/TII. Tak pelak, pelarangan ini menjadi isu besar dikalangan para pelaku adat dan agamawan. Dalam ajaran agama Islam ditegaskan bahwa, pakaian yang dibenarkan adalah pakaian yang menutup aurat, tidak menampakkan lekuk tubuh dan rona kulit selain telapak tangan dan wajah. Kontroversi ini kemudian disikapi bijak oleh kerajaan Gowa, hingga muncullah modifikasi baju bodo yang dikenal Baju Labbu (serupa dengan baju bodo, tetapi lebih tebal, gombrang, panjang hingga lutut). Perlahan, baju tokko yang semula tipis berubah menjadi lebih tebal dan terkesan kaku. Jika pada awalnya memakai kain muslin (kain sejenis kasa), berikutnya baju bodo dibuat dengan bahan benang sutera.

Bagi golongan agamawan, adanya baju labbu ini adalah solusi terbaik, tidak melanggar hukum Islam dan juga tidak menghilangkan nilai adat. Bagi golongan adat, hal ini dianggap sebagai pelanggaran nilai-nilai warisan leluhur. Tentu tidak ada yang benar juga tidak ada yang salah. Yang patut digaris bawahi, bukankah pakaian adat adalah hasil konstruksi  manusia sesuai dengan jamannya masing. Maka, saat bermunculan baju ­bodo dengan berbagai model dan variasi, seperti yang terjadi saat ini, itulah bentuk konstruksi manusia Bugis-Makassar saat ini. Kombinasi dan variasi baju bodo yang ada saat ini, terbukti mampu diterima oleh berbagai kalangan dan lapisan masyarakat. Baju bodo tidak lagi sekedar pakaian adat, melainkan dapat dipakai diacara resmi, bahkan busana kerja. Selamat berbajubodo, baju bodo sederajat dengan baju kebaya, dua-duanya adalah busana asli Indonesia, busana Nasional.

DAFTAR PUSTAKA
  1. Abdullah, Hamid, 1985, Manusia Bugis Makassar, Suatu tinjauan Historis terhadap pola tingkah laku dan pandangan hidup manusia Bugis – Makassar, Jakarta, Intidayu Press
  2. Aminah, P.Hamzah, 1984, Monografi Kebudayaan Sulawesi Selatan, Ujung Pandang, Proyek PEMDA TK.I Sul-Sel
  3. Andi Nurnaga, N, Dra., 2003, Adat Istiadat Pernikahan Masyarakat Bugis-Makassar, Telaga Zamsam Makassar
  4. Andi Zainal Abidin, Prof. Dr., 1999, Capita Selecta Kebudayaan Sul-Sel, Makassar, UNHAS Press
  5. Anwar, Idwar., 2007, Ensiklopedi Kebudayaan Luwu, Makassar, Komunitas Kampung Sawerigading
  6. Lamallongeng, Asmat Riady., 2007, Dinamika Perkawinan Adat dalam Masyarakat Bugis Bone, Bone, Penanggung Jawab Dinas Kebudayaan & Pariwisata Kab. Bone.
  7. Latif, Halilintar, 2005, Kepercayaan Asli Bugis di Sulawesi Selatan, sebuh kajian antropologi Budaya. Laporan Penelitian Desertasi, tidak dipublikasikan
  8. Mame, A. Rahim, ___, Adat dan Upacara Perkawinan Daerah Sul-Sel, Ujung Pandang, Proyek dan Pencatatan Kebudayaan Daerah
  9. Mappangara, Suriadi., 2006, Glosarium Sulawesi Selatan dan Barat, Ujung Pandang, Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Ujung Pandang.
  10. Mattulada, 1976, Agama Islam di Sulawesi Selatan, Ujung Pandang, Fak. Sastra UNHAS
  11. Mukhlis (Ed.), 1986,  Dinamika Bugis Makassar, Ujung Pandang, PLPIIS-YIIS
  12. Nonci, S.Pd, 2002, Upacara Adat Istiadat Masyarakat Bugis, Makassar, Telaga Zamsam Makassar
  13. Pelras, Christian., 2006, Manusia Bugis, Jakarta, Nalar,
  14. Said DM, M. Ide., 1977, Kamus Bahasa Bugis – Indonesia, Jakarta, Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa DEPDIKBUD
  15. Sani, M.Yamin., dkk., 1990, Bicaranna Mula Timpaengngi Sidenreng Najaji Engka Wanua Ri Sidenreng, Asal-usul “Kerajaan” Sidenreng dan Sistem Pemerintahannya, Ujung Pandang, Proyek Departemen P & K, Direktorat Jenderal Kebudayaan Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Nusantara.
  16. Syamsuddin Arifin., Kol, S.Pd., 2003, Beberapa Istilah Bugis dan Pengertiannya, tidak dipublikasikan
CATATAN KAKI :
  1. [1] Ahmad, S. (Juli-September 2005), "Rise and Decline Ekonomi Bengal", Asian Affairs 27 (3): 5-26
  2. [2] The Travels of Marco Polo: The Complete Yule-Cordier Edition Oleh Marco Polo, Sir Henry Yule, Henri Cordier, 1993.
  3. [3] Sejenis cerita dan informasi turun temurun dalam adat Bugis yang tidak jelas asal-usulnya.
  4. [4] Nama Bugis, tanaman perdu setinggi 50-60 Cm, bercabang merambat mirip Melati, dengan buah sebesar buah kedongong, mulus dan berwarna merah. Hingga tulisan ini diturunkan, penulis belum menemukan nama Indonesia dan nama latinnya.
  5. [5] Nama Bugis, tanaman berbatang setinggi 2-3 Meter, bercabang, kulit pohon warna Putih, dengan daun berwarna Ungu. Hingga tulisan ini diturunkan, penulis belum menemukan nama Indonesia dan nama latinnya.



SUKU BUGIS MAKASSAR "Disangka Kasar Tapi

Orang Bugis Makassar jika merantau berprinsip "di mana mereka merasa tenang dan nyaman hidup sekaligus berusaha, itulah yang dianggap tanah mereka"

Benarkah anggapan orang-orang di luar Sulawesi bahwa orang Bugis Makassar itu kasar-kasar baik dari segi bahasa maupun perangai mereka? Apakah kekasaran itu akrab dengan orang-orang Bugis Makassar? 

Ada beberapa stigma-stigma negatif mengenai orang Bugis Makassar yang sudah sering saya dengar entah dari media ataupun pengalaman teman yang berkunjung ke daerah lain diluar Sulawesi.

Banyak yang mengatakan Masyarakat Bugis Makassar di Kota Makassar itu sangat kasar, entah dalam hal sikap maupun cara bicara. Saya lahir, besar dan tinggal di Makassar 100% tidak setuju akan pendapat tersebut. Maka untuk itu, dibawah ini akan saya tuliskan beberapa hal yang membuat masyarakat didaerah lain berpendapat orang Bugis Makassar Itu Kasar.


Suku Bugis Makassar dikenal penaik darah, suka mengamuk, membunuh dan mau mati untuk sesuatu perkara, meski hanya masalah sepele saja. Apa sebab sehingga demikian? Ada apa dengan jiwa karakter suku bangsa ini?

Tidak diketahui apa sebab orang Bugis Makassar terpaksa membunuh atau melakukan pertumpahan darah, biarpun hanya perkara kecil. Jika ditanyakan kepada mereka apa sebabnya terjadi hal demikian, jarang bahkan tak satupun yang dapat menjawab dengan pasti "sehingga dapat dimengerti dengan jelas" apa penyebab ia menumpahkan darah orang lain atau ia mau mati untuk seseorang.

Ahli sejarah dan budaya menyarankan untuk mengenal jiwa kedua suku bangsa ini lebih dekat lagi dengan cara mempelajari dalil-dalil, pepatah-pepatah, sejarah, adat istiadat dan kesimpulan-kesimpulan kata mereka yang dilukiskan dengan indah dalam syair-syair atau pantun-pantunnya.

Laksana garis cahaya di gelap malam, apabila kita selidiki lebih mendalam, tampaklah bahwa kebanyakan terjadinya pembunuhan itu ialah lantaran soal malu dan dipermalukan. Soal malu dan dipermalukan banyak diwarnai oleh kejadian-kejadian yang dilatari adat yang sangat kuat.

Sebut saja satunya adalah, "silariang (kawin lari)" misalnya, atau dalam bahasa Belanda: Schaking. Apabila seorang pemuda ditolak pinangannya, maka ia merasa malu. Lalu ia berdaya upaya agar sang gadis pujaan hati Erangkale (si gadis datang membawa dirinya kepada pemuda), atau si pemuda itu berusaha agar gadis yang dipinangnya dapat dilarikannya (silariang). Apabila hal ini terjadi, maka dengan sendirinya pihak orang tua (keluarga) gadis itu juga merasa mendapat “Malu Besar” (Mate Siri’). Mengetahui anak gadisnya silariang, segera digencarkan pencarian untuk satu tujuan: membunuh pemuda dan gadisnya yan memberi aib pada keluarganya!

Cara ini sama sekali tidak dianggap sebagai tindakan yang kejam, bahkan sebaliknya, ini tindakan terhormat atas perbuatan mereka yang memalukan. Oleh orang Bugis Makassar menganggap telah menunaikan dan menyempurnakan salah satu tuntutan tata hidup dari masyarakatnya yang disebut adat.

Selain itu, kedua suku Bugis Makassar tersohor sebagai kaum pelaut yang berani sejak dahulu kala hingga sekarang. Sebagai pelaut yang kerap ‘bergaul’ dan akrab dengan angin dan gelombang lautan, maka sifat-sifat dinamis dari gelombang yang selalu bergerak tidak mau tenang itu, mempengaruhi jiwa dan karakter orang Bugis Makassar. Ini lalu tercermin dalam pepatah, syair atau pantun yang berhubungan dengan keadaan laut, yang kemudian memantulkan bayangan betapa watak atau sifat kedua suku bangsa itu.

Contoh salah satu pantun: Takunjunga’ bangung turu’ Nakugunciri’ gulingku, Kualleangna tallanga natolia. Artinya: “saya tidak begitu saja mengikuti arah angin, dan tidak begitu saja memutar kemudi saya. Saya lebih suka tenggelam dari pada kembali.”

Maksudnya, kalau langkah sudah terayun, berpantang surut –lebih suka tenggelam- daripada kembali dengan tangan hampa. Jadi kedua suku bangsa ini memiliki hati yang begitu keras. Tapi, benarkah begitu?

Justru sebaliknya, orang Bugis Makassar memiliki hati yang halus dan lembut. Dari penjelasan di atas nampaklah bahwa kedua suku bangsa ini lebih banyak mempergunakan perasaannya daripada pikirannya. Ia lebih cepat merasa. Begitu halus perasaannya sampai-sampai hanya persoalan kecil saja dalam cara mengeluarkan kata-kata di saat bercakap-cakap, bisa menyebabkan kesan yang lain pada perasaannya, yang dapat menyebabkan kesalahpahaman. Tapi, kalau kita telah mengenal jiwa dan wataknya atau adat istiadatnya, maka kita tengah berhadapan dengan suku bangsa yang peramah, sopan santun, bahkan kalau perlu ia rela mengeluarkan segala isi hatinya, bahkan jiwanya sekalipun rela mereka pertaruhkan kepada kita.

Jika ada orang Makassar telah mengucapkan perkataan “Baji’na tawwa” atau “Baji’ tojengi ntu I Baso” (maksudnya: Alangkah baiknya orang itu atau alangkah baik hati si Baso), maka itu cukup menjadi suatu tanda, bahwa apabila ada kesukaran yang akan menimpa si Baso, maka ia rela turut merasakannya.

Ia rela berkorban untuk kepentingan si Baso. Apabila ada seseorang yang hendak mencelakai atau menghadang si Baso di tengah jalan, jika didengarnya kabar itu, maka ia rela maju lebih awal menghadapi lawan itu, meski tidak dimintai bantuannya. Ia mau mati untuk seseorang, dikarenakan orang itu telah dipandangnya sebagai orang baik. Olehnya, orang Bugis Makassar dikenal sebagai orang yang setia, solider dan kuat pendirian. Meski tak jarang yang memplesetkan kata Makassar sebagai “Manusia Kasar”.

dari berbagai sumber

MELEMPAR JUMRAH

BATU UNTUK MELEMPAR JUMRAH

Batu untuk melontar diambil dari Muzdalifah ketika mabit pada tgl 10 Dzuhijjah, atau bisa juga sebagian diambil dari Muzdalifah dan selebihnya diambil dari sekitar Mina, adapun besar ukuran batunya adalah sebesar biji asam dan tidak runcing, karena para ulama fiqih memberikan gambaran tentang ukuran batunya adalah lebih besar dari kacang humus (kacang Arab) tapi lebih kecil dari kacang bunduk (kenari).

Adapun jumlahnya adalah 49 butir bagi nafar awal (melontar jumrohnya sampai tgl 12), 70 butir bagi nafar tsani (menyelesaikan lontar jumroh sampai tgl 13).
Tujuh butir untuk melempar jumroh Aqobah pada hari Nahr/Hari Raya ‘Iedul Adha yaitu tgl 10 Dzulhijjah, kemudian selebihnya untuk hari-hari tasyriq (tgl. 11, 12, 13 Dzulhijjah) 21 butir untuk setiap harinya: tujuh butir untuk melontar jumrah Ula, tujuh butir untuk melontar jumroh Wustho, tujuh butir untuk melontar jumroh Aqobah.

JADWAL MELEMPAR JUMRAH

   NAVAR AWAL
Tanggal
Waktu Utama
Tempat Melontar
Jumlah Batu
Ula
Wustho
Aqobah
10 Dzulhijjah
Setelah Matahari Terbit
-
-
7
7
11 Dzulhijjah
Setelah dhuhur
7
7
7
21
12 Dzulhijjah
7
7
7
21
JUMLAH TOTAL
49 butir
   NAVAR TZANI
10 Dzulhijjah
Setelah Matahari Terbit
-
-
7
7
11 Dzulhijjah
Setelah dhuhur
7
7
7
21
12 Dzulhijjah
7
7
7
21
13 Dzulhijjah
7
7
7
21
JUMLAH TOTAL
70 butir

 
UMROH HEMAT 2016 U$D.2.000 BERANGKAT MARET 2016