Jabal Rahmah (Gunung Kasih Sayang)

Bukit yang menjadi saksi dipertemukannya kembali Nabi Adam dan Siti Hawa, setelah 200 tahun terpisah sejak terusirnya mereka dari Surga.

Selesai Sa'i Ber Do’a di Bukit MARWAH

Shafa dan Marwah berjarak sekitar 450 M, menjadi salah satu dari rukun haji dan umrah. Tidak sah Haji dan Umrah seseorang jika tidak melakukan sa’i antara Sofa dan Marwah sebanyak 7 kali.

City Tour ke Jabal Tsur

Di atas Jabal Tsur terdapat sebuah gua, gua tersebut, tertutup dengan sarang laba-laba, dan nampak burung merpati yang sedang bertelur di sarangnya. Padahal Rasulullah SAW bersama Abu Bakar Ashiddiq sedang berlindung di gunung tersebut (Gua Tsur) waktu hendak hijrah ke Madinah menghindari kejaran kafir Quraisy.

Jabal Uhud (Bukut Uhud)

Dilembah bukit Uhud terdapat makam 70 orang syuhada, antara lain Hamzah bin Abdul Muthalib paman Nabi Muhammad SAW.

UMRAH Plus PALESTINA

Peserta fotho bersama dengan Imam Besar Masjid Al Aqsa, sebelum meninggalkan Palestina menuju Makkah Arab Saudi Guna Melaksanakan Ibadah Umroh

Tour EROPA TIMUR

Rombongan BUPATI POLMAN SULBAR, menunjungi beberapa Negara dlm rangkaian Tour ke Eropa Timur, diantaranya : Turki,Italia,Swiz,Jerman,Belanda, dan Belgia.

Gunung Magnet alias Jabal Magnet

Nama Jabal Magnet adalah pemberian dari jamaah asal Indonesia. Orang-orang Arab sendiri menyebut tempat tersebut dengan nama Mantiqotul Baido atau Tanah Putih.

City Tour Kota Madinah

Dalam city tour ini jamaah Umroh diajak mengunjungi Kebun Kurma. Jamaah dapat menikmati buah kurma yang baru dipetik, minum teh khas arab dan berbelanja kurma untuk oleh oleh.

Executive Lounge Bandara Internasional Soekarno Hatta

Calon Jamaah Umrah “Taufiqah Tour” beristirahat di Lounge Bandara Internasional Soekarno Hatta menunggu keberangkatan menuju Arab Saudi dengan pesawat Emyrat.

MAKNA SIRI’ NA PACCE’

MAKNA SIRI’ NA PACCE’ DIMASYARAKAT BUGIS-MAKASSAR

Dalam budaya Sulawesi Selatan (Bugis, Makassar, Mandar dan Tana Toraja) ada sebuah istilah atau semacam jargon yang mencerminkan identititas serta watak orang Sulawesi Selatan, yaitu Siri’ Na Pacce. Secara Harafiyah Siri’ berarti: Rasa Malu (harga diri), sedangkan Pacce atau dalam bahasa Bugis disebu Pesse yang berarti: Pedih/Pedas (Keras, Kokoh pendirian). Jadi Pacce berarti semacam kecerdasan emosional untuk turut merasakan kepedihan atau kesusahan individu lain dalam komunitas (solidaritas dan empati).

Kata Siri’, dalam bahasa Makassar atau Bugis, bermakna “malu”. Sedangkan Pacce (Bugis: Pesse) dapat berarti “tidak tega” atau “kasihan” atau “iba”. Struktur Siri’ dalam Budaya Bugis atau Makassar mempunyai empat kategori, yaitu (1) Siri’ Ripakasiri’, (2) Siri’ Mappakasiri’siri’, (3) Siri’ Tappela’ Siri (Bugis: Teddeng Siri’), dan (4) Siri’ Mate Siri’Kemudian, guna melengkapi keempat struktur Siri’ tersebut maka Pacce atau Pesse menduduki satu tempat, sehingga membentuk suatu budaya (karakter) yang dikenal dengan sebutan Siri’ Na Pacce.

Siri’ Ripakasiri’
Adalah Siri’ yang berhubungan dengan harga diri pribadi, serta harga diri atau harkat dan martabat keluarga. Siri’ jenis ini adalah sesuatu yang tabu dan pantang untuk dilanggar karena taruhannya adalah nyawa.

Sebagai contoh dalam hal ini adalah membawa lari seorang gadis (kawin lari). Maka, pelaku kawin lari, baik laki-laki maupun perempuan, harus dibunuh, terutama oleh pihak keluarga perempuan (gadis yang dibawa lari)karena telah membuat malu keluarga.

Contoh lainnya adalah kasus kekerasan, seperti penganiayaan atau pembunuhan dimana pihak atau keluarga korban yang merasa terlanggar harga dirinya (Siri’na) wajib untuk menegakkannya kembali, kendati ia harus membunuh atau terbunuh. Utang darah harus dibalas dengan darah, utang nyawa harus dibalas dengan nyawa.

Dalam keyakinan orang Bugis/Makassar bahwa orang yang mati terbunuh karena menegakkan Siri’, matinya adalah mati syahid, atau yang mereka sebut sebagai Mate Risantangi atau Mate Rigollai, yang artinya bahwa kematiannya adalah ibarat kematian yang terbalut santan atau gula. Dan, itulah sejatinya Kesatria.

Tentang ini hal ini, oleh Hakim Pidana (orang-orang Belanda) di zaman penjajahan dahulu tidak bisa mengerti mengapa orang Bugis/Makassar begitu bangga dan secara kesatria mengakui di depan persidangan pidana bahwa dia telah melakukan pembunuhan berencana, meski diketahuinya bahwa ancaman pidananya sangat berat jika dibandingkan dengan pembunuhan biasa (pembunuhan yang tidak direncanakan sebagaimana diatur dalam pasal 338 KUHP). Secara logika, memang orang lain tidak dapat mengerti hal tersebut, kecuali bagi mereka yang telah paham akan makna Siri’ yang sesungguhnya.

Agar dapat mengetahui tentang bagaimana penting menjaga Siri’ untuk kategori Siri’ Ripakasiri’, simaklah falsafah berikut ini. Sirikaji nanimmantang attalasa’ ri linoa, punna tenamo siri’nu matemako kaniakkangngami angga’na olo-oloka. Artinya, hanya karena Siri’ kita masih tetap hidup (eksis), kalau sudah malu tidak ada maka hidup ini menjadi hina seperti layaknya binatang, bahkan lebih hina daripada binatang.

Siri’ Mappakasiri’siri’
Siri’ jenis ini berhubungan dengan etos kerja. Dalam falsafah Bugis disebutkan, “Narekko degaga siri’mu, inrengko siri’.” Artinya, kalau Anda tidak punya malu maka pinjamlah kepada orang yang masih memiliki rasa malu (Siri’). Begitu pula sebaliknya, “Narekko engka siri’mu, aja’ mumapakasiri’-siri.” Artinya, kalau Anda punya malu maka jangan membuat malu (malu-maluin).

Bekerjalah yang giat, agar harkat dan martabat keluarga terangkat. Jangan jadi pengemis, karena itu artinya membuat keluarga menjadi malu-malu atau malu hati.
Hal yang terkait dengan Siri’ Mappakasiri’siri’ serta hubungannya dengan etos kerja yang tinggi adalah cerita-cerita tentang keberhasilan orang-orang Bugis dan Makassar di perantauan.

Dengan dimotori dan dimotivasi oleh semangat siri’ sebagaimana ungkapan orang Makassar, “Takunjunga bangun turu’ naku gunciri’ gulingku kualleangngangi tallanga na towaliya.” Artinya, begitu mata terbuka (bangun di pagi hari), arahkan kemudi, tetapkan tujuan ke mana kaki akan melangkah, pasang tekad “Lebih baik tenggelam daripada balik haluan (pulang ke rumah) sebelum tercapai cita-cita.” Atau, sekali layar terkembang pantang biduk surut ke pantai, sebelum tercapai pulau harapan.

Selain itu, Siri’ Mappakasiri’siri’ juga dapat mencegah seseorang melakukan hal-hal yang bertentangan dengan hukum, nilai-nilai moral, agama, adat istiadat dan perbuatan-perbuatan lainnya yang dapat merugikan manusia dan kemanusiaan itu sendiri.

Salah satu falsafah Bugis dalam kehidupan bermasyarakat adalah “Mali’ siparampe, malilu sipakainga”, dan “Pada idi’ pada elo’ sipatuo sipatokkong”. Artinya, ketika seseorang sanak keluarga atau kerabat tertimpa kesusahan atau musibah maka keluarga yang lain ikut membantu. Dan, kalau seseorang cenderung terjerumus ke dalam kubangan nista karena khilaf maka keluarga yang lain wajib untuk memperingatkan dan meluruskannya.

Siri’ Tappela’ Siri’ (Makassar) atau Siri’ Teddeng Siri’ (Bugis)
Artinya rasa malu seseorang itu hilang “terusik” karena sesuatu hal. Misalnya, ketika seseorang memiliki utang dan telah berjanji untuk membayarnya maka si pihak yang berutang berusaha sekuat tenaga untuk menepati janjinya atau membayar utangnya sebagaimana waktu yang telah ditentukan (disepakati). Ketika sampai waktu yang telah ditentukan, jika si berutang ternyata tidak menepati janjinya, itu artinya dia telah mempermalukan dirinya sendiri.
Orang Bugis atau orang Makassar yang masih memegang teguh nilai-nilai Siri’, ketika berutang tidak perlu ditagih. Karena, tanpa ditagih dia akan datang sendiri untuk membayarnya.

Siri’ Mate Siri’
Siri’ yang satu berhubungan dengan iman. Dalam pandangan orang Bugis/Makassar, orang yang mate siri’-nya adalah orang yang di dalam dirinya sudah tidak ada rasa malu (iman) sedikit pun. Orang seperti ini diapakan juga tidak akan pernah merasa malu, atau yang biasa disebut sebagai bangkai hidup yang hidup.

Betapa hina dan tercelanya orang seperti ini dalam kehidupan masyarakat. Aroma busuk akan tercium di mana-mana. Tidak hanya di lingkungan Istana, di Senayan, bahkan di tempat-tempat ibadah juga bau busuk akan terasa menyengat. Korupsi, kolusi dan nepotisme, jual beli putusan, mafia anggaran, mafia pajak serta mafia-mafia lainnya, akan senantiasa mewarnai pemberitaan media setiap harinya. Nauzubillahi min-dzalik.

Pacce (Bugis: Pesse)
Pacce atau Pesse adalah suatu tata nilai yang lahir dan dianut oleh masyarakat Bugis/Makassar. Passe lahir dan dimotivasi oleh nilai budaya Siri’ (malu). Contoh, apabila seorang anak durhaka kepada orangtuanya (membuat malu keluarga) maka si anak yang telah membuat malu (siri’) tersebut dibuang dan dicoret dalam daftar keluarga. Namun, jika suatu saat, manakala orangtuanya mendengar, apalagi melihat anaknya menderita dan hidup terlunta-lunta, si anak pun diambilnya kembali. Malu dan tidak tega melihat anaknya menderita.

Punna tena siri’nu pa’niaki paccenu. Artinya meski anda marah karena si anak telah membuat malu keluarga, lebih malulah jika melihat anakmu menderita. Jika Anda tidak malu, bangkitkan rasa iba di hatimu (Paccenu). Anak adalah amanah Allah, jangan engkau sia-siakan.

Pacce’ dalam pengertian harfiahnya berarti “ pedih “, dalam makna kulturalnya pacce berarti juga belas kasih, perikemanusiaan, rasa turut prihatin, berhasrat membantu, humanisme universal. Jadi, pacce’ adalah perasaan (pernyataan) solidaritas yang terbit dari dalam kalbu yang dpaat merangsang kepada suatu tindakan. Ini merupakan etos (sikap hidup) orang Bugis-Makassar sebagai pernyataan moralnya. Pacce’ diarahkan keluar dari dirinya, sedangkan siri’ diarahkan kedalam dirinya. Siri’ dan pacce’ inilah yang mengarahkan tingkah laku masyarakatnya dalam pergaulan sehari-hari sebagai “ motor “ penggerak dalam memanifestasikan pola-pola kebudayaan dan sistem sosialnya.

Melalui latar belakang pokok hidup siri’ na pacce’ inilah yang menjadi pola-pola tingkah lakunya dalam berpikir, merasa, bertindak, dan melaksanakan aktivitas dalam membangun dirinya menjadi seorang manusia. Juga dalam hubungan sesama manusia dalam masyarakat. Antara siri’ dan pacce’ saling terjalin dalam hubungan kehidupannya, saling mengisi, dan tidak dapat dipisahkan yang satu dari lainnya.
Dengan memahami makna dari siri’ dan pacce’, ada hal positif yang dapat diambil sebagai konsep pembentukan hukum nasional, di mana dalam falsafah ini betapa dijunjungnya nilai-nilai kemanusiaan – berlaku adil pada diri sendiri dan terhadap sesama – bagaimana hidup dengan tetap memperhatikan kepentingan orang lain. Membandingkan konsep siri’ dan pacce’ini dengan pandangan keadilan Plato (428-348 SM) yang mengamati bahwa justice is but the interest of the stronger (keadilan hanya merupakan kepentingan yang lebih kuat).

Nilai adalah hal yang yang sangat dibutuhkan dalam setiap aspek kehidupan dan dalam konteks hukum, nilai ini merupakan sesuatu yang menjadi landasan atau acuan dalam penegakan hukum, nilai ini hidup dalam suatu masyarakat dan menjadi falsafah hidup dalam masyarakat tertentu. Masyarkat Bugis mempunyai falsafah hidup yang sangat dijunjungnya yaitu siri’ na pacce’.

Siri’ na pacce’ dalam masyarakat Bugis sangat dijunjung tinggi sebagai falsafah dalam segala aspek kehidupan, dan hal ini juga berlaku dalam aspek ketaatan masyakarat terhadap aturan tertentu (hukum), dengan pemahaman terhadap nilai (siri’ na pacce’) ini sangat mempengaruhi masyakarat dalam kehidupan hukumnya.

Siri’ yang merupakan konsep kesadaran hukum dan falsafah masyarakat Bugis-Makassar adalah sesuatu yang dianggap sakral . Siri’ na Pacce ( Bahasa Makassar ) atau Siri’ na Pesse’ ( Bahasa Bugis ) adalah dua kata yang tidak dapat dipisahkan dari karakter orang Bugis-Makassar dalam mengarungi kehidupan di dunia ini. Begitu sakralnya kata itu, sehingga apabila seseorang kehilangan Siri’nya atau De’ni gaga Siri’na, maka tak ada lagi artinya dia menempuh kehidupan sebagai manusia. Bahkan orang Bugis-Makassar berpendapat kalau mereka itu sirupai olo’ kolo’e ( seperti binatang ). Petuah Bugis berkata : Siri’mi Narituo ( karena malu kita hidup ).

Dengan adanya falsafah dan ideologi Siri’ na pacce/pesse, maka keterikatan dan kesetiakawanan di antara mereka mejadi kuat, baik sesama suku maupun dengan suku yang lain.

Konsep Siri’ na Pacce/pesse bukan hanya di kenal oleh kedua suku ini, tetapi juga suku-suku lain yang menghuni daratan Sulawesi, seperti Mandar dan Tator. Hanya saja kosa katanya yang berbeda, tapi ideologi dan falsafahnya memiliki kesamaan dalam berinteraksi.

BUDAYA MENDIDIK ORANG BUGIS

Budaya mendidikan orang bugis. Mungkin pembahasan ini masih kurang bersahabat dengan telinga pembaca. Dalam uraian berikut ini penulis menjelaskan tentang bagaimana masyarakat bugis punya bibit unggul dalam setiap aspek keturunannya. 

Budaya bugis senantiasa memberikan buah hasil penanaman khas dan karakter aslinya kepada para keturunan-keturunannya. Dewasa ini dengan perkembangan zaman, IPTEK dan keadaan lingkungan serta perubahan kondisi alam mengakibatkan bergesernya pula nilai-nilai yang selama ini masih dipegang teguh oleh masyarakat pada umumnya. Anak-anak sekarang ini mengalami kemunduran dalam pemahaman moril,karakter dan tingkah laku serta daya kreatifitas karena pengaruh zaman tadi. Dahulu bagaimana anak-anak dengan keterbatasannya dan hanya memanfaatkan lingkungannya dapat dengan suka cita bermain, dan hal ini membuat daya kreatifitas anak semakin bertambah juga dengan sendiri.

Apabila kita memberikan perbandingan dengan yang sekarang bahwa anak-anak dengan tekhnologi yang semakin tingginya dan anak yang hanya mengandalkan jiwa komsumtifnya maka dengan hal tersebut jiwa kreatifitas anak akan berkurang. Mereka akan sangat tergantung dengan hal-hal yang sudah ada, mobil-mobilan remote control, playstation dll. Dengan seperti ini maka struktur pemikiran anak tadi akan mengalami krisis kreatifitas dan krisis karakter , karena budaya instan tadi. Di samping itu juga, dewasa ini saya sebagai penulis melihat disekeliling saya dan berdasar pada pengalaman saya tentang mendidik anak sekarang dan menmbandingkan dengan yang dahulu dari hasil tingkah laku dan morilnya. Memang saya dapat mengatakan bahwa sangat berbeda. Krisis-krisis seperti dijelaskan diatas sangat jelas terlihat.

A.  Karakter Keluarga Bugis
Suku Bugis yang terletak umumnya di daerah Sulawesi dan terkhusus di daerah Sulawesi selatan, memiliki keberagaman budaya dan pemaknaannya. Bugis yang dikenal dengan tata krama dan norma-norma yang menjadi ciri dan khas masyarakat atau populasinya. Dan juga bugis yang dikenal dengan etos dan karakter yang kuat serta bugis yang populasinya berada dimana-mana. Secara garis besar masyarakat bugis yang masih sangat kental dengan kebudayaan khasnya dan masih berpegang teguh dan menjalankan setiap tradisi-tradisinya.

Masyarakat bugis yang dikenal dengan gelar-gelar kebangsawanannya masih sangat mengedepankan nilai-nilai kekeluargaan. Sistem kekerabatannya juga sangat baik dan dijaga sampai sekarang ini, walaupun zaman sudah secanggih ini pemaknaan mengenai rasa penghormatan kepada orang yang berstrata lebih diatas masih terjaga. Inilah yang menyebabkan mengapa tradisi dalam nilai-nilai bugis itu masih ada.

Suku Bugis terikat pada satu sistem budaya yang disebut panngaderreng, yang menjadi acuan bagi individu dalam kehidupan sosialnya, mulai dari kehidupan keluarga sampai pada kehidupan yang lebih luas sebagai kelompok etnik (Melalatoa, 1995). Inti dari sistem budaya ini adalah apa yang disebut siri’ dan pessé. Adanya budaya pada suku Bugis yang mengikat kuat setiap anggotanya, tentunya membuat penelitian atau diskusi lebih lnjut penting dilakukan. Hal ini dikarenakan, sistem budaya tersebut dapat berpengaruh pada kekuatan karakter yang berhubungan dengan kebahagiaan yang mereka rasakan.

Karakter keluarga bugis menjurus ke arah bagaimana setiap keluarga menginginkan adanya pola penjagaan terhadap nilai dan nama baik keluarga, karakter keluarga bugis yang sangat memperhatikan unsur-unsur estetika dalam artian nilai keindahan dalam prospek kekerabatan dan tingkah laku bukan hanya dengan keluarga sendiri akan tetapi dengan seluruh aspek lingkungan pergaulan dan keseharian. Dalam hal ini bagaimana pembeda atau apabila dikaji mendalam bagaimana karakteristik keluarga bugis dibandingkan dengan yang lain, bisa dikatakan keluarga bugis mempunyai banyak aturan yang nilai ke sakralannya sangat tinggi, sehingga dalam bertindak dan bertingkah laku seakan berhati-hati atau penuh dengan ikatan yang membuatnya sangat berhati-hati.

B.  Budaya Otoriter dalam Penanaman etos kedisiplinan anak.
Karakter keluarga bugis menurut kebanyakan orang itu bersifat otoriter, namun ke otoriteran dari karakter bugis itu sendiri bukan otoriter menurut pemaknaan aslinya, akan tetapi kedisiplinan dan ketaatan untuk tidak melakukan hal yang tidak biasanya atau diluar unsur kebiasaan dan tidak melakukan hal-hal yang melanggar norma dan asas-asas beretika yang berlandaskan dari kebiasaan suku bugis tersebut atau biasanya disebut dengan pamali, Begitupun dengan gaya mendidik anaknya. Keotoriteran masyarakat bugis ini juga dalam pemaknaan seperti diatas, kedisiplinan yang ketat mengajarkan anak untuk menjadi orang-orang yang nantinya bisa cepat mandiri atau dapat mengatur hidupnya sendiri, kedisiplinan juga menjadikan bekal moril kepada anak agar dapat lebih bertanggung jawab dan berfikir positif dalam kesehariannya. Bekal-bekal lain yang tersirat dalam etos kedisiplinan dalam gaya mendidik masyarakat bugis adalah budaya siri atau bagaimana menjaga nama baik keluarga. Dalam hal ini nilai-nilai yang dapat dihasilkan adalah bagaimana pola pemikiran anak dan proses orangtua memberikan pengertian kepada anak membuat anak lebih bertanggung jawab atas etika dan penanaman karakter yang lebih matang, biasanya dengan begini pola kestruktural pemikiran anak akan lebih baik, bagaimana bisa lebih paham dengan kepekaan sosial dan juga anak akan mendapatkan kesadaran diri yang tinggi. Masih banyak dari kepola mendidik ini seperti etika dalam makan yang mana mengutamakan kebersamaan agar nilai-nilai kebersamaan itu semakin erat. Nilai senang,susah di rasakan bersama-sama dan masih banyak aspek-aspek lainnya.

Lain lagi dalam pola religius. Masyarakat bugis sangat memperhatikan masalah ini dalam batasannya ajaran islam. Bagaimana masyarakat bugis cenderung taat atau patuh dalam pelaksanaan ajaran agama ini. Hal ini jelas terlihat bagaimana banyak dari acara-acara yang dilaksanakan oleh masyarakat bugis yang memiliki nilai religius dalam landasannya seperti, maccera’ (akikah), panre temme’ (tamat al qur’an) tama bola’ ( masuk rumah baru ) ini merupakan bukti dasar bagaimana masyarakat bugis sangat mengilhami ajaran-ajaran islam itu sendiri. Biasanya dalam masyarakat bugis yang telah mempunyai anak, mereka kebanyakan telah menanamkan pada anak apabila dia telah bersekolah maka dia juga harus dapat mengaji atau mulai mempelajari dasar dalam agamanya. Dan dengan di dukung oleh kebudayaan bugis yang masih mengedepankan ke estetikaan nilai-nilai terdahulu seperti maka perkembangan keagamaan ini terdapat semacam umpan balik yang sangat menguntungkan keduanya. Bagaimana anak mulai mempelajari dan didukung oleh budaya, dan budaya yang tetap terpelihara dengan semakin banyaknya masyarakat yang tetap stay dan menjalankannya. Abayak contoh spesifik tentang pembuktian hal ini. Seperti pada umumnya isra’ miraj, maulid nabi, sampai pada peringatan bulan suci ramadhan yang di tunggu-tunggu oleh anak-anak untuk berperan aktif dalam kegiatan islamic di masjid-masjid, mengaji dan ceramah contohnya yang membuat edukasi lain dan pola mendidik lain dalam upaya membuat anak dapat berkembang dengan kemauannya sendiri.
Gaya mendidik masyarakat bugis tidaklah sekeras dari apa yang difikirkan akan tetapi, penanaman pemahaman dan relasi dengan budaya dan tradisi masyarakat lampau atau sebelumnya membuat ikatan pola mendidik anak tetap terjaga walau dewasa ini sudah sedikit berkurang akan tetapi akan tetap ada dan stay karakter-karakter itu dengan semakin transparannya hasil buah gaya mendidik seperti ini.

C.  Pengaruh Budaya Mitos/pamali dalam mendidik dan keseharian masyarakat bugis.
Ekspresi budaya "pamali/ pemmali" sebagai salah satu sikap tutur budaya Bugis-Makassar, merupakan ungkapan yang bersifat spontanitas, sebagai bentuk pelarangan dengan penekanan pada kejiwaan, untuk tidak melanggar yang di pemalikan (diappemmaliang). Pemmali terkait erat dengan pappaseng, oleh pengguna bahasa / penutur, setinggi apapun pappaseng sebab merupakan nasehat hidup atau pelajaran hikmah yanglahir dari penjelajahan hidup yang disampaikan lewat karya sastra, dan merupakan salah satu nilai ekspresi budaya suku Bugis-Makassar. tetapi pemmali, juga sebagai sebuah pesan, memberi efek yang berbeda dengan volume pelarangan yang sangat menekan, sebab diikuti dengan sanksi (meskipun bentuknya terkadang gaib) sebagai contoh, kami paparkan seperti dibawah ini: "Pemmali pura manre nappa matinro, menre I' salompongnge". "pemmali mangngesso ase riwettu makkumpe' na ellungnge" "pemmali tawwe matinro moppang, magatti I' diwelai indo' "Enre manekko ana-ana, nasaba Mangngaribini, enrara I' setangnge" "Tempeddingi tewwe tudang riolona tange e', monroko lolo bangko" Pada masyarakat lampau sifat pemmali ini secara umum teraplikasi dengan baik sebab menjadi timbangan yang istimewa dalam mempengaruhi emosional lawan bicara (reseptor /audens) sehingga menjadi kemestian untuk tidak melakukan yang bersifat larangan (harus diindakan) meski dengan tidak rela terpaksa mengikuti. 

Suku Bugis terikat oleh sistem norma dan aturan-aturan adat yang keramat dan sakral, yang disebut panngaderreng (atau panngadakkang dalam bahasa Makassar). Sistem budaya ini menjadi acuan bagi orang Bugis dalam kehidupan sosialnya, mulai dari kehidupan keluarga sampai pada kehidupan yang lebih luas sebagai kelompok etnik (Melalatoa, 1995). Sebagai suatu sistem, panngaderreng mempunyai beberapa unsur, yaitu (1) ade’, (2) bicara, (3) rappang, (4) Wari’, dan (5) Sara’ (Melalatoa, 1995; Matullada dalam Koentjaraningrat, 1997).

Unsur ade’ berisi norma-norma dalam sistem kekerabatan dan norma dalam sistem pemerintahan negeri, baik yang di dalam maupun yang berhubungan dengan negeri luar. Bicara adalah norma-norma yang terkait dengan peradilan, yang kurang lebih sama dengan hukum acara. Rappang merupakan analogi, kias, perumpamaan atau ungkapan adat. Wari’ adalah klasifikasi benda, peristiwa, dan aktivitas dalam kehidupan bermasyarakat menurut kategori-katergorinya. Sedangkan Sara’ adalah pranata-paranata dan kaidahnya yang berasal dari Islam. Hukum Islam atau syari’ah diintegrasikan ke dalam panngaderreng dan menjadi sara’ sebagai suatu unsur pokok dari pangngaderreng dan kemudian menjiwai keseluruhan pangngaderreng.

Yang menjadi inti dari sistem budaya ini adalah apa yang disebut siri’. Konsep siri’ mengintegrasikan secara organis semua unsur pokok dari panngaderreng. Basjah (dalam Koentjaraningrat, 1997) memberi tiga pengertian terhadap kosep siri’ yaitu, malu, daya pendorong untuk membinasakan siapa saja yang telah menyinggung rasa kehormatan seseorang, atau daya pendorong untuk bekerja atau berusaha sebanyak mungkin. Said (dalam Koentjaraningrat, 1997) mengungkapkan bahwa siri’ adalah perasaan malu yang memberi kewajiban moril untuk membunuh pihak yang melanggar adat, terutama dalam soal-soal hubungan perkawinan. Sedangkan menurut Melalatoa (1995) kata siri’ secara harafiah berarti “malu” atau “kehormatan”.

Siri’ merupakan sesuatu yang dirasakan bersama dan merupakan bentuk solidaritas sosial. Siri’ dapat menjadi motif penggerak kehidupan sosial dan pendorong tercapainya suatu prestasi sosial masyarakat Bugis. Menurut masyarakat Bugis, siri’ seharusnya—dan biasanya, memang—seiring sejalan dengan pessé. Pessé, atau lengkapnya pessé babua, berarti ikut merasakan penderitaan orang lain dalam perut sendiri, mengindikasikan perasaan haru (empati) yang mendalam terhadap tetangga, kerabat, atau sesama anggota kelompok sosial (Pelras, 2006). Hal ini melambangkan solidaritas, tak hanya pada seseorang yang telah dipermalukan, namun juga bagi siapa saja dalam kelompok sosial yang sedang dalam keadaan serba kekurangan, berduka, mengalami musibah, atau menderita sakit keras. Pessé berhubungan erat dengan identitas dan merupakan pengikat antar anggota kelompok sosial atau etnis. Pessé mendasari rasa memiliki identitas ‘ke-Bugis-an’ para orang Bugis yang merantau. Kedua konsep ini—siri’ dan pessé—dapat digunakan sebagai kunci utama untuk memahami berbagai aspek perilaku sosial orang Bugis, khususnya dua perilaku yang tampak saling berlawanan, yaitu persaingan dan kesetiakawanan.

Mitos dalam pembahasan diatas dikenal sebagai pamali dalam bahasa bugis memang sedikit banyak memberikan pedoman dan landasan dalam bertindak dan bertingkah laku bagi keluarga dan khususnya dalam mendidik pada masyarakat bugis. Dengan nilai seperti itu keteraturan dia keterikatan tentang norma-norma yang baik semakin tumbuh pada diri anak dan masyarakat pada umumnya. Bisa dikatakan mau tidak mau mitos mendarah daging di dalam kehidupan masyarakat bugis. Dalam segala aspek pamali selalu ada. Dalam segala tindakan pamali selalu mengikat ini adalah dasar dan merupakan bukti bagaimana benar-benar menyeluruh pamali ini. Apalagi seperti yang kita tahu bahwa pamali ini pada dasarnya diwarisi turun temurun dari masyarakat terdahulu.

Ada banyak bentuk-bentuk pamali yang sadar tidar sadar menancapkan pesan dan menjadi karakter bagi yang melakukan dan berada pada cangkupannya seperti contoh kecil:Kalimat deklaratif dari Pappaseng/Pappasang ini dengan kosa kata de e narapi nawa-nawa adalah sinyalemen untuk mendeskripsikan reso (semangat tinggi), berfungsi sebagai alat pendidikan bagi generasi muda manusia Bugis. yang terjemahannya: berangan-anganlah hingga tak terjangkau angan-angan. (disampaikan oleh panrita/agamawan).

Menurut Abdul Kadir Parewe: “ Para pi’ nawa-nawa adalah sebuah keinginan dari penutur agar masyarakat senantiasa menggunakan tenaga pikiran dalam menciptakan atau menemukan hal-hal baru (inovasi), atau sebagai manusia perlu memelihara pikiran-pikiran yang kita inginkan, memperjelas apa yang kita inginkan di dalam benak, dari situ kita mulai membangun salah satu hukum terbesar di Semesta, dan itulah hukum tarik-menarik. Anda tidak hanya menjadi apa yang paling Anda pikirkan, tetapi Anda juga meraih apa yang paling Anda pikirkan demi kemaslahatan orang banyak. Tendensi dalam pappseng ini sebagai bentuk pelahiran tokoh (to macca), pada generasi berikutnya. Keinginan pada kelahiran tokoh ini adalah simpul kuat yang terkait dengan salah satu butir dalam pangngadakkang yaitu rapang (suri teladan).”

Dan juga "pamali/pemmali", "Pemmali pilai bolae narekko de'pa napura bissai penne angnganrengnge" (dilarang meninggalkan rumah (untuk perjalanan jauh) sebelum piring yang digunakan untuk makan, dicuci terlebih dahulu). kata "bissai penne", dalam ungkapan pemmali ini apakah hanya berarti "cuci piring", sebab dalam sinyalemen pengunaan kata bissai penne ini dapat juga berarti memperlakukan wanita/istri dengan merawatnya, setelah berhubungan badan, menuju sikap verbal pada penggalian nilai-nilai budaya tutur, untuk sebuah kearifan lokal.

Seperti contoh diatas bagaimana kepercayaan seperti itulah yang mengambil peran aktif dalam pembentukan apa yang dinamakan kebiasaan yang menyebabkan lahirnya perilaku yang akhirnya kembali menjadi kebiasaan.

Sumber:
anthropology.fisip.ui.ac.id/httpdocs/
http://www.sangbaco.com/2012/04/kekuatan-pesan-amanah-suku-bugis.html

TATA CARA PENYELENGGARAAN JENAZAH

MENGHADAPI KEMATIAN
Sebelum masuk kepada Tata Cara Penyelenggaraan Jenazah, maka perlu juga dibahas tentang cara menghadapi kematian:

  1. Bila salah seorang kamu sakit, hendaklah dia bersabar, maka dosa-dosanya akan diampuni Allah swt.
  2. Hendaklah orang yang sakit itu bersangka baik kepada Allah SWT.
  3. Orang yang sakit itu hendaklah berwasiat, kalau dia meninggalkan barang milik (harta benda).
  4. Talqinkan (tuntunkan) orang yang akan meninggal dengan ucapan tahlil( (لا إله إلاّ الله Adapun membaca surat Yasin pada orang yang hampir mati, tidak ada dalilnya yang shahih.
  5. Hadapkanlah orang sakit itu ke arah kiblat
  6. Kalau ia sudah meninggal, pejamkanlah matanya, karena mata mengikuti keluarnya ruh dari badan. 
  7. Do’akanlah ia dengan do’a :
    حَدَّثَنِى زُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ حَدَّثَنَا مُعَاوِيَةُ بْنُ عَمْرٍو حَدَّثَنَا أَبُو إِسْحَاقَ الْفَزَارِىُّ عَنْ خَالِدٍ الْحَذَّاءِ عَنْ أَبِى قِلاَبَةَ عَنْ قَبِيصَةَ بْنِ ذُؤَيْبٍ عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ قَالَتْ دَخَلَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَلَى أَبِى سَلَمَةَ وَقَدْ شَقَّ بَصَرُهُ فَأَغْمَضَهُ ثُمَّ قَالَ « إِنَّ الرُّوحَ إِذَا قُبِضَ تَبِعَهُ الْبَصَرُ ». فَضَجَّ نَاسٌ مِنْ أَهْلِهِ فَقَالَ « لاَ تَدْعُوا عَلَى أَنْفُسِكُمْ إِلاَّ بِخَيْرٍ فَإِنَّ الْمَلاَئِكَةَ يُؤَمِّنُونَ عَلَى مَا تَقُولُونَ ». ثُمَّ قَالَ

    اللَّهُمَّ اغْفِرْ لأَبِى سَلَمَةَ وَارْفَعْ دَرَجَتَهُ فِى الْمَهْدِيِّينَ وَاخْلُفْهُ فِى عَقِبِهِ فِى الْغَابِرِينَ وَاغْفِرْ لَنَا وَلَهُ يَا رَبَّ الْعَالَمِينَ وَافْسَحْ لَهُ فِى قَبْرِهِ. وَنَوِّرْ لَهُ فِيهِ

    معانى بعض الكلمات :

    الغابر : الباقى
    Dari Ummu Salamah dia berkata : Rasulullah saw masuk ketempat Abu Salamah (yang wafat) dan matanya terbuka, maka ditutupkannya, kemudian nabi berkata : Sesungguhya ruh itu apabila dicabut, akan diikuti oleh mata. Maka manusia dari keluarganya rebut. Lalu nabi saw berkata : Janganlah kamu do’akan atas diri (keluargamu) kecuali yang baik, karena malaikat akan meng aminkan apa yang kamu ucapkan. Kemudian nabi saw berdo’a : Ya Allah, ampunilah Abu Salamah (……isi dgn nama yg dikunjungi), tinggikanlah derajatnya termasuk pada orang-orang yang dapat petunjuk, dan gantilah sesudahnya pada orang-orang yang ditinggalkan dan ampunilah kami dan untuknya yang Tuhan seru sekalian alam, lapangkanlah kuburnya dan terangilah kuburnya.
    (HR :  Muslim, Ahmad, Abu Daud, Nasai, Ibnu Hibban, Baihaqi, Abu Ya’la, Thabrani)
  8. Selubungilah dengan kain yang baik.
  9. Lunasilah hutangnya segera, karena rohnya akan tertahan menghadap Allah kalau hutangnya belum dilunasi.
  10. Segerakan pengurusan jenazahnya, jangan ditunda – tunda.
  11. Kabarkanlah kepada kaum kerabat dan teman – temannya kaum muslimin lainnya.

Ada 4 ( empat ) kewajiban muslimin yang hidup terhadap muslim yang meninggal, yang sering disebut FARDHU KIFAYAH. Pada hal istilah Fardhu kifayah sebenarnya bukan hanya khusus untuk pengurusan jenazah. Fardhu kifayah yaitu setiap kewajiban yang bila telah dikerjakan oleh sebagian orang, maka lepaslah kewajiban yang lain, seperti menjawab salam, pengurusan jenazah, dll.
Fadhu kifayah yang 4 untuk jenazah itu ialah :
  1. Memandikannya               
  2. Mengkafaninya
  3. Menshalatkannya
  4. Menguburkannya


1. MEMANDIKAN
A.   ALAT – ALAT MEMANDIKAN JENAZAH
  1. Tempat memandikan berupa dipan atau meja, dan kain penutup tempat mandi itu.
  2. Sabun yang sudah dicairkan, lebih baik sabun cuci tapi bisa juga sabun mandi.
  3. Air jeruk purut, cara membuatnya : 3 ( tiga ) buah jeruk purut diparut dan disaring, banyaknya sekitar satu mangkok sedang.
  4. Air kapur barus yang sudah dihaluskan sebanyak satu mangkuk sedang.
  5. Air biasa sekitar 3 ( tiga )ember besar.
  6. Sugi – sugi, yaitu lidi yang ujungnya dibungkus dengan kapas. Panjang lidi itu ± 7 cm jumlah juga 7 buah.
  7. Lidi untuk mencongkel kuku.
  8. Sarung tangan.
  9. Handuk atau yang sejenisnya.
B.  ADAB MEMANDIKAN JENAZAH
    1. Kalau ada aib atau kekurangan tubuhnya, harus dirahasiakan, jangan dicerita kan kepada orang lain.
    2. Cara memandikan harus dengan pelan dan kasih sayang, tidak boleh dengan kasar atau menunjukkan ketidak senangan.
    3. Waktu memandikan aurat utama harus tetap ditutup dengan sarung atau basahan.
    4. Yang memandikan mayat laki–laki, harus laki–laki juga, kecuali istrinya.
    5. Yang memandikan mayat perempuan harus perempuan juga, kecuali suaminya
C. CARA MEMANDIKAN    
  1. Letakkan mayat diatas dipan, dan sebaiknya tidak dipangku.
  2. Cebokkan ( istinjakkan ) mayat itu dengan tangan kiri, dan sebaiknya pakai sarung tangan. Kawan membantu menyiramkan sampai ke duburnya berulang–ulang, hingga hilang warna kuningnya.
  3. Tangan boleh diluruskan pelan–pelan dan boleh juga dalam posisi bersedekap.
  4. Siramkan air ( biasa ) dari kepala sampai kaki dgn pelan–pelan, dengan cara : - Mula–mula sebelah kanan 3 kali - Kemudian sebelah kiri 3 kali - Terakhir tengah–tangah 1 kali Jumlahnya sebanyak 7 kali ( ganjil )
  5. Siramkan air sabun sampai semua tubuh kena secara merata. Satu orang menggosok secara perlahan, dan yang lain menyiramnya. Termasuk yang disiram / digosok ialah belakang kuping, ketiak, paha, sela – sela jari, kepala, rambut, dll. (Tanda sudah bersih badannya sudah kesat, tidak licin lagi.)
  6. Sesudah bersih badannya bagian depan, termasuk rambut dan kepalanya, miringkan jenazah kekiri dan gosoklah bagian yang kanan dan punggungnya. Kemudian miringkan jenazah kekanan, dan gosoklah bagian yang kiri dan punggungnya.
  7. Siramkan air jeruk dari kepala sampai kekaki : Mula–mula sebelah kanan 1 kali - Kemudian sebelah kiri 1 kali - Terakhir tengah–tengah 1 kali.CATATAN : Kalau mayatnya sudah agak uzur ( sudah mulai berbau ), maka boleh air jeruk didahulukan dari air sabun ( sebelum no. 5 ).
  8. Telentangkan jenazah dan siram dengan air biasa.
  9. Gunakan sugi – sugi untuk :
    . telinga kanan, dan bersihkan sampai bersih    
     ·  telinga kiri, dan bersihkan sampai bersih,      
    ·  mata kanan, dan bersihkan sampai bersih     
       ·  mata kiri, dan bersihkan sampai bersih    
      ·  lubang hidung kanan, dan bersihkan sampai bersih 
      ·  lubang hidung kiri, dan bersihkan sampai bersih 
     ·  mulut, dan bersihkan sampai bersih
  10. Bersihkan kuku tangan dan kaki dengan lidi sampai bersih.
  11. Siram lagi dengan air biasa.
  12. Terakhir siram dengan air kapur barus dari kepala sampai kaki, yaitu : - Bagian kanan - Bagian kiri -Tengah – tengah badan
  13.  Setelah ini tidak boleh lagi disiram dengan air.
  14. Lap semua tubuhnya dengan handuk sampai kering.
  15. Kalau untuk perempuan, rambutnya ditocang ( dijalin tiga ) dan diletakkan  diubun-ubunnya.  
  16. Tidak ada perbedaan mendasar antara cara memandikan mayat perempuan dengan mayat laki – laki.   

2. MENGKAFANI

A.   BAHAN – BAHAN
  1. Kain kapan (kain putih) sepanjang lebih kurang 12 m atau sesuai kebutuhan.
  2. Kapas
  3. Gaharu
  4. Cendana
  5. Kapur barus yang sudah ditumbuk

B.   CARA MENGKAFANI MAYAT LAKI – LAKI
  1. Ukurlah mayat dari kepala sampai ke ujung kaki ( ujung jari ), dan lebihkan sekitar 30 cm ( segulungan lutut )
  2. Talinya 5 buah diambil dari pinggir kain.Cara mengambil talinya : gunting sedikit dan koyakkan.
  3. Kain kapan harus dipotong secara ganjil ( 3 atau 5 potong )
  4. Yang paling luar/bawah, 2 bidang kain yang didampetkan, dan dianggap 1 lapis. Yang kedua, 1 bidang kain atau satu setengah bidang kain yang panjangnya sama dengan yang dibawahnya.Yang ketiga, 1 bidang kain atau satu setengah bidang kain yang panjangnya sama dengan yang dibawahnya.
  5. Letakkan kapas diatas kain tang paling atas dan diatas kapas ditaruh gaharu.
  6. Letakkan jenazah diatas kain kapan.
  7. Letakkan kapas diatas mukanya, dagunya, diantara lipatan tangan, dikaki, diantara kaki san paha dan didada.
  8. Gulunglah kain kapan bersama – sama ( 2 orang ) dengan arah yang sama atau boleh juga berlawanan arah.
  9. Ikatkan jenazah itu sebanyak 5 ikatan, yaitu di ujung kaki, di lutut, di dada, di kepala dan diujung kepala.
  10. Yang di kepala diakhirkan mengikatnya, karena mungkin ada yg akan melihat / mencium jenazah.
  11. Simpul ikatan berada / diletakkan di sebelah kiri jenazah ( supaya mudah membukanya waktu diliang lahat )   

C.  UNTUK JENAZAH PEREMPUAN
Ada tambahan kapannya, yaitu :
  1. ada telekung, dari kain kapan itu juga.
  2. ada sarung, dari kain kapan itu juga.
  3. ada baju , seperti baju teluk belanga sederhana dan ada lehernya.
  4. ada cawat sederhana.
                    Semua bahan diatas dari kain kapan.

D. URUTAN KAIN KAFAN PEREMPUAN
  1. Yang paling awal ( paling dibawah ) adalah kain yang paling besar (2 bidang disambungkan) .
  2. Setalah itu yang agak kurang besar.
  3. Setalah itu telekungnya.
  4. Setelah itu sarungnya.
  5. Setelah itu bajunya.
  6. Walaupun sebagian ulama mendha’ifkan tentang masalah pakaian jenazah itu.

3. MENSHALATKAN JENAZAH

  1. Shalatkanlah jenazah dengan syarat – syarat shalat seperti berwudhu’, menutup aurat, dll.
  2. Waktu – waktu yang dilarang shalat jenazah adalah :
    • Waktu terbit matahari ( kecuali matahari sudah naik )
    • Waktu pas tengah hari ( kecuali matahari sudah tergelincir )
    • Waktu akan terbenam ( kecuali sesudah terbenam )
  3. Tidak ada yang dibaca sebelum shalat jenazah
  4. Kalau jenazah pria, hendaklah imam berdiri dekat kepalanya Kalau jenazah wanita, hendaklah imam berdiri dekat lambung / perutnya ( ditengah – tengah jenazah ).
  5. Usahakan menshalatkannya dalam 3 shaf, walaupun orangnya sedikit
  6. Shalat jenazah terdiri dari 4 takbir, tanpa ruku’ dan sujud.
  7. Setiap takbir mengangkat kedua tangan.


 
A. TAKBIR PERTAMA
Sesudah takbir pertama dengan membacaاَللهُ اَكْبَر   maka dibaca al Fatihah dan shalawat.


ِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ (1) الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ (2) الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ (3) مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ (4) إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ (5) اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ (6) صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ (7)

اللَّهُمّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إبْرَاهِيْمَ وَآلِ إبْرَاهِيْمَ  وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إبْرَاهِيْمَ وآل إبْرَاهِيْمَ إنكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ

B. TAKBIR KEDUA

Sesudah takbir kedua dengan membaca  اَللهُ اَكْبَر  maka dibaca do’a :  


اللَّهُمَّ اغْفِرْ لَهُ، وَارْحَمْهُ، وَعَافِهِ، واعْفُ عَنْهُ، وَأَكْرِمْ نُزُلَهُ، وَوَسِّعْ مُدْخَلَهُ، وَاغْسِلْهُ بِالْمَاءِ وَالثَّلْجِ وَالْبَرَدِ، وَنَقِّهِ مِنَ الْخَطَايَا كَمَا يُنَقَّى الثَّوْبُ الأَبْيَضُ مِنَ الدَّنَسِ، وَأَبْدِلْهُ دَارًا خَيْرًا مِنْ دَارِهِ، وَأَهْلا خَيْرًا مِنْ أَهْلِهِ، وَزَوْجًا خَيْرًا مِنْ زَوْجِهِ، وَأَدْخِلْهُ الْجَنَّةَ، وَأَعِذْهُ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ، وَمِنْ عَذَابِ النَّارِ


C. TAKBIR KETIGA

Sesudah takbir ketiga dengan membaca  اَللهُ اَكْبَر  maka dibaca do’a :



اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِحَيِّنَا وَمَيِّتِنَا وَشَاهِدِنَا وَغَائِبِنَا وَصَغِيرِنَا وَكَبِيرِنَا وَذَكَرِنَا وَأُنْثَانَا اللَّهُمَّ مَنْ أَحْيَيْتَهُ مِنَّا فَأَحْيِهِ عَلَى الإِسْلاَمِ وَمَنْ تَوَفَّيْتَهُ مِنَّا فَتَوَفَّهُ عَلَى الإِيمَانِ اللَّهُمَّ لاَ تَحْرِمْنَا أَجْرَهُ وَلاَ تُضِلَّنَا بَعْدَهُ



D. TAKBIR KEEMPAT

Sesudah takbir keempat dengan membaca   اَللهُ اَكْبَر maka dibaca do’a :

اللَّهُمَّ لاَ تَحْرِمْنَا أَجْرَهُ وَلاَ تُضِلَّنَا بَعْدَهُ

Mengucapkan salam (seperti salam shalat biasa) dengan membaca :

السَّلامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ

Catatan : Do’a untuk jenazah anak – anak
  dibaca sesudah takbir keempat : اَللَّهُمَّ اجْعَلْهُ لَنَا سَلَفًا وَفَرَطًا وَأَجْرًا

4. MENGUBURKAN JENAZAH
  1. Sesudah dishalatkan, bawalah jenazah itu ke kuburan dengan cepat – cepat ( segera ).
  2. Iringkanlah dengan berjalan sekelilingnya dan diam ( tidak berbicara )
  3. Jangan ada wanita yang mengiringi jenazah.
  4. Dan bila melihat jenazah lewat, baik muslim atau yahudi, maka berdirilah sehingga dia lewat atau diletakkan.
  5. Kuburlah jenazah dalam lubang ( kubur ) yang baik dan dalam.
  6. Buatlah galian lahat.
  7. Masukkan jenazah dari arah kaki kubur
  8. Ketika meletakkan jenazah dalam kubur bacalah :بِسْمِ اللَّهِ وَعَلَىمِلَّةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّم
  9. Yang turun ke dalam kubur adalah orang yang tidak junub tadi malam.
  10. Tutuplah dengan kain diatas kubur mayat wanita, sedang laki – laki tidak.
  11. Letakkanlah mayat itu menghadap kiblat.
  12. Kubur tidak boleh ditinggikan lebih dari sejengkal.
  13. Dilarang membuat tembok diatas kuburan.
  14. Boleh membuat tanda diatas kuburan, umpamanya dengan batu di arah kepalanya.
  15. Taburilah kubur dengan tanah dari arah kepala, bukan dengan bunga atau air.
  16.  Larangan yang berhubungan dengan kuburan         
  • Duduk sebelum jenazah diletakkan di dalam kubur( harus berdiri terus )
  • Duduk diatas kuburan
  • Berjalan diantara kuburan dengan memakai alas kaki
  • Meninggikan kuburan lebih dari sejengkal
  • Menembok ( membeton ) kuburan
  • Menjadikan kuburan sebagai bangunan mesjid,dll.
  • Menulisi kuburan dengan berbagai tulisan seperti nama keluarga,dll
  • Semua yang menjurus ke arah syirik, seperti berwasilah kepada orang yang telah mati, minta restu pada orang yang telah mati, dll.
4a. MELAWAT ( BERTA’ZIAH )

  1. Bila mendapat musibah atau mendengar musibah, maka ucapkan :
    إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ *   اللَّهُمَّ أْجُرْنِى فِى مُصِيبَتِى وَأَخْلِفْ لِى خَيْرًا مِنْهَا   *   

    Sesungguhnya kami milik Allah, dan dan kepadanya kami kembali. Ya Allah, berilah aku pahala pada musibahku ini dan gantilah dengan yang lebih baik darinya
  2. Lawatlah ( berta’ziah ) kepada ahli mayit, dan anjurkanlah bersabar.
  3. Jangan meratapi mayat, jangan pula menampar pipi, merobek pakaian dan meratap dengan ratapan jahiliyah.
  4. Tapi dibolehkan menangis ( tanda bersedih hati )
  5. Buatkanlah makanan bagi kerabat mayat.
  6. Dan jangan berkumpul makan –makan di rumah musibah itu.
4b. ZIARAH KUBUR
  1. Pergilah berziarah ke kubur agar ingat akhirat.
  2. Jangan melakukan sesuatu di kuburan yang tidak diiznkan oleh Allah dan Rasulnya, seperti meminta – minta kepada mayat, dan menjadikannya perantara dengan Allah swt
  3. Bila kamu ziarah kubur, maka ucapkanlah :
    السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ دَارَ قَوْمٍ مُؤْمِنِينَ وَإِنَّا إِنْ شَاءَ اللَّهُ بِكُمْ لاَحِقُونَ   اللَّهُمَّ لا تَحْرِمْنَا أَجْرَهُمْ ، وَلا تَفْتِنَّا بَعْدَهُم
    "Semoga selamat sejahtera bagimu, wahai rumah orang – orang mukmin, dan insya Allah kami akan menyusulkamu sekalian. Ya Allah, janganlah engkau menjauhkan kami dari pahala mereka, dan janganlah engkau timbulkan fitnah kepada kami sepeninggal mereka."
  4. Kemudian menghadaplah ke kiblat, dan berdo’a kepada Allah, dengan meminta ampun dan ‘afiat bagi mereka.
  5. Janganlah orang perempuan sering ziarah kubur.
  6. Jangan ziarah kubur hanya mengkhususkan pada waktu - waktu tertentu, seperti menjelang Ramadhan atau sekitar Idul Fithri.

Ringkasan Tata Cara Shalat Jenazah Menurut Sunnah Rasulullah
Shalat jenazah merupakan lanjutan dari prosesi pemulasaraan dan merawat jenazah setelah memandikan jenazah dan mengafani jenazah. Tata cara dan ketentuan menshalatkan atau menyalati sudah diatur oleh Rasulullah. Kita tinggal melaksanakannya sesuai dengan ketentuan dan contoh dari Rasulullah tersebut.

Tatacara dan ketentuan shalat jenazah menurut Rasulullah dengan mendasarkan pada ketentuan umum dan ketentuan khusus. Diharapkan, apa yang Anda baca ini merupakan panduan lengkap shalat jenazah.

     * Ketentuan Umum
  • Mensholatkan jenazah merupakan salah satu kifayah bagi kaum Muslimin dan Muslimat
  • Sholat jenazah dapat dilaku secara sendiri-sendiri a berjamaah, dilakukan den posisi jenazah di depan orang yang mensholatkan
  • Sholat dapat juga dilakukan tanpa hadirnya jenazah yang disebut dengan sholat ghaib
  • Jenazah yang boleh disholatkan adalah jenazah orang Islam
  • Jenazah yang tidak boleh disholatkan adalah jenazah orang kafir (non-Muslim)
  • Adapun jenazah orang bunuh diri dan orang yang berhutang tanpa ada penjamin pelunasan hutangnya, maka Rasulullah saw. tidak mensholatkannya, tetapi beliau membiarkan sahabat mensholatkannya
  • Jenazah yang terpotong-potong, bila ditemukan bagian dada, dan diyakini sebagai orang Islam tetap dirawat sebagaimana biasa. Bila ditemukan bagian-bagian tubuh yang lainnya, cukup disiram, dibungkus dan dikuburkan
  • Jenazah yang sudah dikafani secara sempurna hendaklah segera disholatkan
  • Bila jenazah lebih dari satu, maka sebaiknya disholatkan sekaligus kecuali bila tidak memungkinkan.
  • Bila bersamaan antara jena laki-laki dan perempuan maka dapat diatur dengan jenazah yang terdekat dengan imam adalah jenazah laki-laki kemudian di sebelah kiblat jenazah perempuan dengan digeser ke tengah supaya bagian pinggangnya sejajar arah kiblat dengan imam
Bila terdapat lebih dari satu jenazah, maka yang ditempatkan terdekat dengan imam adalah laki-laki yang lebih sholih.
  • Imam sholat jenazah diutamakan seseorang yang ada hubungan kerabat dengan jenazah
  • Makmum masbuk dalam shalat jenazah hendaklah menyempurnakan takbir kekurangannya
  • Sholat jenazah dapat dilakukan di dalam masjid, rumah jenazah, kuburan atau tempat-tempat Iain yang memungkinkan
  • Dilarang sholat jenazah dalam 3 (tiga) waktu sebagai berikut:
                + Waktu terbit matahari hingga naik
                + Waktu matahari di tengah-tengah
                + Waktu hampir terbenam hingga benar-benar terbenam.
    * Ketentuan Khusus
  • Orang yang mensholatkan jenazah harus telah memenuhi syarat sahnya sholat
  • Tidak ada ketentuan syara’ yang mengharuskan jenazah diletakkan membujur ke utara atau ke selatan
  • Berdiri menghadap kiblat dengan jenazah di sebelah arah kiblat, jenazah di depan imam
  • Sholat jenazah sebaiknya dilakukan secara berjamaah
  • Mengenai ketentuan sejumlah (tiga) shof, bukanlah keharusan
  • Imam menempatkan diri pada arah kepala jenazah laki-laki, dan pada arah tengah badan (pinggang) jenazah perempuan
  • Shof laki-laki di muka dan shaf perempuan di belakang.
Tata Cara Sholat Jenazah
Sholat jenazah dilaksanakan dengan cara sebagai berikut:
  • Mengikhlaskan niat karena Allah
  • Membaca takbir pertama (Allahu Akbar), seraya mengangkat kedua tangan lalu tangan kanan memegang tangan kiri dan keduanya diletakkan di dada (bersedekap) dilanjutkan dengan membaca Al-Fatihah dan shalawat kepada Nabi Muhammad saw.
  • Membaca takbir kedua (Allahu Akbar), dengan mengangkat kedua tangan, kemudian kembali ke posisi bersedekap, diteruskan dengan membaca do’a
  • Membaca takbir ketiga Akbar (Allahu Akbar), dengan mengangk tangan, kemudian kembali bersedekap, diteruskan membaca do’a
  • Bacalah takbir keempat Akbar (Allahu Akbar), dengan mengangk tangan, kemudian kembali bersedekap, diteruskan membaca do’a ringkas; dengan membaca salam seraya memalingkan muka lalu bacalah salam kedua memalingkan muka ke kiri.
Sholat jenazah juga dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut :
  • Takbir pertama, dilanjutkan dengan membaca al-Fatihah
  • Takbir kedua, dilanjutkan dengan membaca shalawat Nabi saw
  • Takbir ketiga, dilanjutkan dengan membaca do’a
  • Takbir keempat, dilanjutkan membaca do’a, dan diakhiri dengan salam.
Demikianlah tata cara dan ketentuan shalat jenazah. Akhirnya semoga bermanfaat

 
UMROH HEMAT 2016 U$D.2.000 BERANGKAT MARET 2016